Malam yang tenang. Aku tak perlu menunggui papa pulang dari ladang pekerjaannya, seperti biasa.
Beliau ke luar kota, persis sama dengan jadwal seminggu yang lalu, dan seminggu sebelumnya lagi.
Aku berjalan mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu, dan kembali ke kamar. Sekian menit kemudian ke dapur untuk membuat makanan ringan. Kudapan yang langsung kunikmati hingga licin tandas seketika itu juga, di meja dapur mungil namun tertata rapih. Kerapihan itu hasil karya bi Inah, dan bukan karena keterampilan tangan-tanganku yang manja.
Aku terlalu sibuk belajar hingga tak sempat membersihkan ruang ini dan itu, terlebih lagi, aku bersifat sangat teledor.
Sore tadi bi Inah pulang lebih cepat ke kamar kontrakannya, karena suaminya meminta begitu.
Tinggallah aku sendiri, yang pada saat detik jam berdetak lebih melambat, aku memutuskan untuk berunding dengan nuraniku sendiri.
Ini tentang bagaimana membuat nyaman dalam situasi keheningan seperti ini.
Aku mencari siapa saja yang terbuka untuk berbagi rasa.
Hanya ada layar dengan kursor berkedap-kedip di hadapanku.
Alunan musik terdengar sebagai latar belakang, mendayu lembut pada awalnya, namun kemudian kupilih yang hingar-bingar. Kutunggu sejenak. Tak terjadi interupsi sama sekali. Tentu saja. Fakta bahwa papa sedang bepergian dinas ke luar kota, menyadarkanku.
Aneh rasanya, ternyata ada juga kenakalan yang tanpa dicampuri teguran dari papa. Bagiku, keheningan seperti sekarang menjadi sesuatu yang tidak mampu kupahami dengan mudah.
Kembali ke ruang pribadiku yang tengah dihinggapi banyak kunang-kunang rindu yang tak bisa disngkirkan.
Masalah yang harus kuhadapi saat ini adalah pemenuhan instingku untuk mengganggu dan menjahili seseorang, yang kemudian akan diikuti peristiwa saling menuduh dan saling mencurangi perasaan. Seperti biasa. Aha.
Akhirnya engkau kupilih, wahai penyair romantika...
Mari kita nikmati kesunyian ini pada bilik masing-masing.