Satu dasawarsa takkan pernah terasa. Itu jika kunikmati sang waktu tersebut bersamamu. Namun satu menit tanpamu, mampu merenggut konsentrasiku seharian.
Jadi bagaimana aku harus mengatakan kalimat perpisahan ini, yang bagai Undang-undang tanpa bisa diamandemen?
Keputusanku ini bukan didorong oleh rasa sombong. Atau bagai rayuan investasi bodong.
Aku sungguh-sungguh serius untuk setinggi-tingginya mengusung satu alasan: demi kebaikan kita berdua.
Tak dipungkiri sulitnya mencari rasa legawa pada sebuah jalan buntu. Untuk suatu ikhtiar, aroma gelisah pun menguar di ruang-ruang rasa, menyapu ujung lorong kisah cinta nan tak sempurna.
Keprihatinan akan dampak suatu pendaratan yang tak mulus terucap di hati.
Maka, .. haruskah?
Aku merasa pedih tetapi ketegaran kujadikan tongkat penopang.
Sesungguhnya, hal musykil terakhir yang ingin kulakukan adalah memandang matanya dalam-dalam untuk memastikan apakah ia telah rela dengan opsi penuh kenafian ini.
Mustahil jika aku berani begitu. Itu terasa bagai memasuki gua panjang, dingin, tenang, tak ada aral melintang secuil pun, namun engkau hanya tak ingin tersesat di dalamnya bukan?
Kini kuulang pinta air mata ini, bahwa kuharap engkau memahami sinyal yang kuterbangkan ke langit malam kelam tadi dan ikhlas menggapai sinarnya.