Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Paska Rekapitulasi 09 : Caleg Adalah Candu

3 Mei 2014   06:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karl Max mengatakan agama adalah candu dan kemudian Roem Topatimansang juga menulis sebuah buku dengan judul Sekolah adalah candu. Candu secara umum dikenal sebagai zat yang memabukkan, meninabobokan, memberi ketenangan dan kesenangan yang palsu yang membuat orang akan suka untuk terus menerus dalam kondisi itu sambil ‘seolah-olah’ lupa pada kondisi yang sebenarnya. Maka bagi para pemikir tertentu, agama dan sekolah sebagai sebuah ideologi tak lebih dari sebuah zat yang bisa menidurkan kesadaran asali manusia sehingga tidak mengenal realitas yang sesungguhnya.

Tetapi saya tak akan memperpanjang perdebatan soal agama dan sekolah sebagai candu, karena saya orang beragama dan saya juga pernah sekolah. Yang ingin saya ceritakan justru pertemuan dengan seorang kawan tadi malam. Kawan saya itu adalah seseorang yang sekarang masuk dalam kategori cagal, caleg gagal.

Begitu bertemu dengannya saya langsung menanyakan, bagaimana dengan pemilu 2019 nanti. Dan tanpa keraguan dia mengatakan akan maju kembali, ingin menjadi caleg lagi. Dan spontan saya mengatakan “Benar kan, kalau caleg itu adalah candu!”

Kesimpulan saya itu mungkin agak serampangan, namun kalau ditanya buktinya maka saya bisa memberikan beberapa contoh. Sebab bukan cuma satu dua, orang yang saya tahu dan kenal, terus menjadi caleg meski telah gagal berkali-kali.

Caleg itu mirip judi di jaman saya kecil dulu yang disebut dengan nomer atau buntut. Menebak angka, bisa tiga angka atau dua. Seseorang yang beli nomer, meski tebakannya tak keluar, namun nyerempet-nyerempet maka akan kembali membeli. Sudah dekat katanya, jadi harus dikejar. Aneh bin ajaib, memangnya angka hasil putaran itu akan berseri atau berurutan?. Kalau hari ini keluar 434 tentu saja kecil kemungkinan putaran berikutnya akan keluar 344 atau 443. Kemungkinan memang tetap ada, tapi kalau kemungkinan lalu dianggap sebagai absolut tentu saja cermin dari nalar yang rusak. Apalagi keyakinan itu dibangun dengan hasil otak-atik mimpi.

Hitung-hitungan caleg gagal yang kemudian pingin maju kembali dalam pemilu berikutnya juga tak jauh dari otak atik angka nomer atau buntut. Jumlah perolehan suara mendekati calon jadi, maka dia merasa lima tahun lagi pasti bisa mencapai angka itu. Atau kalaupun suaranya masih jauh maka dia merasa sudah tahu cara untuk memperoleh angka yang lebih besar di pemilu berikutnya.

Dan caleg gagal itu lupa bahwa lima tahun lagi keadaan sudah berbeda, pun yang menjadi saingannya barangkali juga sudah berbeda belum lagi kemungkinan peraturan atau perundangan yang bisa saja juga berubah. Cara atau strategi yang ampuh pada pemilu saat ini belum tentu akan manjur dalam pemilu berikutnya.

Tapi tentu saja saya tak berhak untuk mencegah seseorang untuk maju kembali menjadi calon legislatif. Dan saya tetap pada posisi semula, kagum atas mereka yang gagah berani maju dan tampil untuk bertarung dalam pemilu. Buat saya mereka adalah orang-orang yang patriotik, terbuka untuk mendedikasikan diri, tenaga dan pikirannya untuk masyarakat banyak.

Cuman kadang-kadang pikiran saya jadi tergelitik. Terutama atas kenyataan bahwa ada banyak orang yang menjadi caleg abadi, bertarung dari pemilu ke pemilu meski tidak berhasil menduduki kursi anggota dewan yang terhormat. Adakah mereka tidak pernah punya alternatif pemikiran bahwa masih banyak jalan lain untuk menjadi pengabdi masyarakat.

Barangkali banyak orang mengimani bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda. Namun buat saya untuk membangun keberhasilan tidak selalu harus di jalan yang sama dengan jalan dimana kita gagal. Top ada istilah banting stir, kalau kita gagal jadi produsen, mungkin kita akan berhasil menjadi pemasar atau penjual, jadi sebuah keberhasilan tidak melulu karena kita kukuh dalam satu jalan. Kita gagal di satu hal, lalu kita coba hal lain dan berhasil, mungkin itu jalan yang benar.

Buat saya kalau kita gagal di salah satu bidang dan terus menerus mengulang untuk berusaha berhasil di bidang itu, maka bidang itu kemudian menjadi candu. Zat yang membutakan kita bahwa masih banyak bidang atau jalan lain yang bisa kita coba untuk menjadi berhasil.

Pondok Wiraguna, 1 Mei 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun