Judul: Membangun Pendidikan yang Humanis melalui Kekuatan Manajemen Berbasis Sekolah
Pendahuluan
Pernahkah kita membayangkan bagaimana sebuah sekolah berjalan jika seluruh kebijakan dan keputusan penting tidak ditentukan dari ruang birokrasi yang jauh, melainkan langsung diambil oleh orang-orang yang setiap hari hidup bersama sekolah itu? Guru yang mengajar, siswa yang belajar, orang tua yang menitipkan anak, hingga masyarakat sekitar yang ikut merasakan denyutnya. Inilah hakikat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): sebuah pendekatan yang memberi otonomi pada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri, sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Di balik istilahnya yang tampak teknis, MBS sejatinya sarat dengan nilai kemanusiaan. Ia menempatkan manusia di sekolah --- guru, siswa, orang tua, masyarakat --- sebagai subjek utama yang berdaya dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian, MBS tidak hanya bicara soal manajemen, tetapi juga soal memberi ruang kepercayaan, membangun partisipasi, dan menumbuhkan tanggung jawab bersama.
Mengapa MBS Diperlukan?
Sistem pendidikan Indonesia sejak lama dikenal sangat sentralistik. Segala keputusan, mulai dari kurikulum, pengelolaan dana, hingga program pengembangan siswa, sering kali diputuskan dari pusat tanpa mempertimbangkan konteks lokal sekolah. Model ini memang menjaga keseragaman, tetapi juga menimbulkan masalah: sekolah menjadi kaku, kurang adaptif, dan minim inovasi.
MBS hadir sebagai jawaban. Dengan memberikan otonomi kepada sekolah, MBS memberi ruang agar setiap sekolah mampu:
Menyesuaikan kurikulum dengan kondisi lokal.
Mengelola sumber daya secara lebih efektif.
Melibatkan guru, orang tua, dan masyarakat dalam keputusan.
Menguatkan akuntabilitas dan transparansi.
Konsep ini juga sejalan dengan semangat reformasi pendidikan di Indonesia sejak akhir 1990-an, yang mendorong desentralisasi dan partisipasi masyarakat.
Kekuatan Ilmiah MBS
Sejumlah penelitian menunjukkan berbagai kekuatan MBS yang terbukti nyata di lapangan.
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dengan fleksibilitas, sekolah dapat menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Penelitian di Sumenep (Suwartini, 2021) menemukan bahwa implementasi MBS mendorong sekolah lebih inovatif dalam mengelola kurikulum dan sarana pembelajaran, sehingga berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa.
Meningkatkan Motivasi dan Kinerja Guru
Hutabarat (2020) dalam International Journal of Sciences: Basic and Applied Research menjelaskan, MBS berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja dan kepuasan guru. Ketika guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka merasa lebih dihargai dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya meningkatkan kinerja mengajar.
Mendorong Partisipasi Masyarakat
Sebuah studi oleh Ela, Ismanto, & Iriani (2022) menegaskan bahwa partisipasi orang tua dan masyarakat dalam MBS, meski belum optimal, mampu meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah. Partisipasi ini tidak hanya berupa dana, tetapi juga dukungan moral, pengawasan, hingga gagasan inovatif.
Menguatkan Akuntabilitas dan Transparansi
Penelitian di Jakarta Timur (Nurhasanah, 2023) menemukan bahwa sekolah yang menerapkan MBS lebih terbuka dalam pengelolaan dana dan pengadaan fasilitas. Hal ini meningkatkan kepercayaan publik serta membangun budaya integritas di sekolah.
Membentuk Karakter Siswa
Panggabean (2022) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa MBS berkontribusi pada pembentukan karakter siswa, terutama dalam hal disiplin, sopan santun, dan tanggung jawab. Melalui kegiatan yang dirancang secara lokal, nilai-nilai karakter lebih mudah diinternalisasi.
Dimensi Humanis MBS
Jika dilihat lebih dalam, kekuatan MBS bukan hanya terletak pada aspek manajemen, melainkan pada dampak humanisnya:
Bagi Guru: Mereka bukan lagi sekadar "pelaksana kebijakan" dari atas, melainkan pengambil keputusan yang dihargai. Hal ini menumbuhkan profesionalisme sekaligus rasa bangga.
Bagi Siswa: Suasana belajar menjadi lebih relevan dengan kebutuhan mereka. Siswa merasa lebih diperhatikan, baik secara akademik maupun non-akademik.
Bagi Orang Tua dan Masyarakat: Mereka dilibatkan sebagai mitra sejajar dalam pendidikan. Ini memperkuat ikatan emosional dan sosial antara sekolah dengan komunitas.
Bagi Kepala Sekolah: Ia bukan hanya administrator, melainkan pemimpin yang visioner dan mampu mendorong perubahan. Kepala sekolah menjadi fasilitator, mediator, dan motivator bagi seluruh warga sekolah.
Dengan demikian, MBS menempatkan manusia sebagai pusat perubahan. Ia menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa tanggung jawab), yang sangat penting bagi keberlangsungan pendidikan.
Tantangan di Lapangan
Meski memiliki banyak kelebihan, implementasi MBS tidak lepas dari berbagai tantangan:
Perbedaan Kapasitas Sekolah: Sekolah di daerah maju dengan sumber daya memadai cenderung lebih berhasil, sedangkan sekolah di daerah tertinggal kerap kesulitan.
Kapasitas Manajerial Kepala Sekolah: Tidak semua kepala sekolah memiliki kemampuan kepemimpinan partisipatif dan keterampilan manajemen yang memadai.
Partisipasi Masyarakat yang Minim: Di beberapa tempat, orang tua dan masyarakat masih enggan atau belum terbiasa terlibat aktif dalam pengelolaan sekolah.
Potensi Penyalahgunaan Otonomi: Tanpa pengawasan, fleksibilitas bisa disalahgunakan, misalnya dalam pengelolaan dana.
Budaya Resistensi terhadap Perubahan: Guru atau staf sekolah kadang merasa nyaman dengan pola lama dan enggan menerima model partisipatif.
Tantangan-tantangan ini perlu diatasi melalui pelatihan manajerial, regulasi pendukung, sistem monitoring, serta penguatan budaya partisipasi.
Dari Teori ke Aksi: Jalan Humanis Pendidikan
Pada akhirnya, MBS bukan hanya wacana akademis, melainkan jalan menuju pendidikan yang lebih manusiawi. Dengan otonomi, partisipasi, dan akuntabilitas, sekolah bukan lagi sekadar lembaga formal, melainkan sebuah ekosistem yang tumbuh bersama masyarakat.
Bayangkan sebuah sekolah di mana guru merasa didengar, siswa merasa diperhatikan, orang tua merasa terlibat, dan kepala sekolah merasa menjadi pemimpin perubahan. Itulah wajah pendidikan humanis yang diimpikan melalui MBS.
Namun, semua ini hanya bisa terwujud bila setiap pihak bersedia berperan aktif:
Pemerintah tetap memberikan regulasi dan pengawasan.
Sekolah berani terbuka dan partisipatif.
Guru dan Kepala Sekolah terus meningkatkan profesionalisme.
Orang tua dan masyarakat menjadi mitra yang kritis sekaligus suportif.
Penutup
Manajemen Berbasis Sekolah adalah kekuatan yang bisa mengubah wajah pendidikan Indonesia. Ia bukan sekadar strategi manajemen, melainkan sebuah pendekatan yang menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan.
MBS mengajarkan bahwa mutu pendidikan tidak bisa hanya ditentukan oleh kebijakan pusat, tetapi harus tumbuh dari bawah: dari sekolah, dari guru, dari orang tua, dan dari anak-anak yang belajar.
Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang berakar pada manusia, untuk manusia, dan oleh manusia.
Referensi (disarankan dicantumkan di bagian akhir artikel Kompasiana)
Hutabarat, W. (2020). Implementation of School Based Management in Indonesia (Affecting Work Motivation, Job-Satisfaction, and Teacher Job-Performance). International Journal of Sciences: Basic and Applied Research.
Suwartini, E. (2021). Implementation of the School-Based Management in Improving Quality Education in Primary School (Sumenep). Jurnal Kependidikan.
Ela, D., Ismanto, B., & Iriani, S. (2022). School-Based Management: Participation in Improving the Quality of Education. Jurnal Ilmu Pendidikan.
Nurhasanah, S. (2023). The Implementation of School-Based Management in East Jakarta. Jurnal Al-Ishlah.
Panggabean, R. (2022). Implementation of School-Based Management in Character Education. International Vocational Education Conference Journal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI