Mohon tunggu...
YUSRON B AMBARY
YUSRON B AMBARY Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Diplomat and Photographer

I felt in love with my job and photography. so where ever I go, i always bring my gears, and share you the one worth sharing. check on my IG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

One Way Ticket to Yemen: Misi Penyelamatan WNI dari Tanah Asal para Wali (4)

8 Mei 2015   14:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14310688712103111204

CHAPTER 4

ONE WAY TICKET TO YEMEN

Jumat, tanggal 3 April 2015. Pagi itu, empat orang anggota Tim, AKPB Tofik Ismail, Moh. Nur Salim, Dede Runanto dan saya bersiap-siap untuk memulai sebuah perjalanan yang saya sebut dengan “Óne Way Ticket to Yaman”. Kami berempat sudah sepenuhnya menyadari dan memahami bahwa kondisi perang di Yaman plus minimnya informasi yang kami miliki untuk pejalanan ini bisa saja menjadikan perjalanan ini sebagai perjalanan dengan tiket sejalan tanpa ada kejelasan apakah kami akan bisa memperoleh tiket kembali nantinya. Niat tulus ikhlas untuk menyelamatkan warga Indonesia yang terjebak dalam situasi perang di Yaman adalah modal utama kami, dan selebihnya hanyalah kepasrahan kami kepada Sang Maha Pelindung. Masing-masing kami hanya membawa sebuah ransel untuk keperluan pribadi, plus sebuah tas yang agak besar untuk membawa keperluan kedinasan.

Pak Didit dari Medco dan beberapa karyawan Medco berkewarganegaraan Oman telah tiba di Posko Tim di Salalah. Informasi dari salah seorang kawan bahwa Pemerintah Oman telah mengeluarkan larangan bagi warganya untuk masuk ke Yaman. Bersama Tim Medco kami pun mulai menyusun strategi untuk dapat masuk ke Yaman. Tim Medco siap mengantar kami sampai ke perbatasan Oman-Yaman dan selanjutnya we’re on our own. Ada 2 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Perbatasan yang menghubungi Oman dan Yaman, yaitu di Shurfeit, yang terletak di bagian Selatan dan di Mezyunah yang terletak di bagian Tengah. Berdasarkan pertimbangan jarak, saya meminta untuk diantar ke Mezyunah di Tengah.

Pukul 10, Tim 4 bersama Medco dan seorang wartawan senior Kompas berangkat dengan menggunakan 2 buah jip menuju perbatasan. Basham, staf bagian Humas Medco yang mengemudikan mobil yang saya tumpangi mulai melakukan beberapa komunikasi telpon untuk memastikan perbatasan mana yang dapat kami lalui. Setelah setengah perjalanan, Basham menyampaikan bahwa dia akan mengantar Tim ke perbatasan di Shurfeit di Selatan. Dia mendapat informasi bahwa TPI di Mezyunah tutup. Selain itu juga dia berhasil mendapat kontak orang Yaman yang bisa menyewakan mobil untuk membawa Tim ke Tarim. Jalan yang kami lalui berkelok tajam membelah pegunungan batu. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna padang pasir yang yang tandus dan gersang. Onta-onta liar banyak kami temui di sepanjang jalan. Sekitar pukul 15.00 kami semua tiba di perbatasan.

Perasaan takut muncul dalam diri saya saat berada di pebatasan Oman-Yaman yang hanya dibatasi oleh sebuah portal. Buat saya, fear of unknown, ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui jauh lebih mencekam dibandingkan dengan ketakutan dari gendoruwo sekalipun. Perasaan saya berkecamuk memikirkan segala hal-hal buruk yang mungkin dapat menimpa Tim di wilayah konflik. Pejabat di Imigrasi Oman pun berkali-kali menanyakan keseriusan kami untuk masuk ke Yaman. Sementara itu di sisi sebelah Yaman, Toyota Hilux double cabin yang dikemudikan oleh seorang pemuda Yaman sudah siap menanti kami masuk ke wilayahnya. Selama hampir 1 jam kami berdiskusi di perbatasan dan terus meyakinkan diri untuk masuk ke Yaman.

Wartawan Kompas yang sudah sejak malam sebelumnya ikut bersama kami makan malam dengan Dubes Muscat menyampaikan bahwa dia sudah menyiapkan headline yang akan terbit hari Sabtu, 4 April 2015 dengan judul “Tim Evakuasi Masuk Yaman”. Dia harus menghubungi Jakarta untuk merubah judul jika Tim gagal masuk ke Yaman. Selanjutnya kontak kami di Tarim juga mengabarkan bahwa keperluan logistik dan program kerja di Tarim telah siap dan menunggu untuk dieksekusi.

Bismillah, akhirnya paspor kami berempat diserahkan kepada Pejabat Imigrasi Oman untuk dicap EXIT. Portal pun diangkat dan kami berempat melangkah dengan pasti untuk memulai sebuah journey of a lifetime.

****

Abu Muhammad, nama anak muda Yaman pengemudi taxi kami langsung menyambut. Ternyata belum ada kesepakatan harga antara Basham dengannya, maka tawar menawar pun terjadi. Deal, kami langsung masuk mobil dan masuk ke TPI Yaman. Sebuah bangunan berukuran sekitar 3x5 meter yang dikelilingi dengan suasana tandus dan kotor. Itulah gambaran TPI Yaman.

Agak lama kami tertahan di TPI karena komputer baru dinyalakan saat kami masuk. Setelah semua program aktif, ternyata paspor saya tidak bisa terbaca di komputer sehingga harus diinput secara manual. Saya melihat petugas TPI kesulitan untuk input data secara manual dalam Bahasa Inggris, maka saya pun menawarkan diri untuk membantunya. Ajaib, dia setuju dan mengijinkan saya masuk ke ruang kerjanya, bantu input data pribadi ke dalam komputer dan ditutup dengan foto bersama di TPI. Buat yang sering berpergian ke luar negeri pasti sudah memahami bahwa mengambil foto di wilayah TPI adalah haram hukumnya. Sebagai tanda persahabatan, saya berikan dia sebungkus rokok kretek yang memang sengaja saya bawa dari tanah air.

Mobil kembali meluncur. Baru sekitar 15 menit, Abu Muhammad berhenti di sebuah pom bensin yang tidak beroperasi dan sampaikan bahwa dia hanya bisa mengantar kami sampai sini dan kawannya akan mengantar kami melanjutkan perjalanan. Abu Muhammad tidak meminta uang bayaran kepada kami saat kami pindah mobil. Mencoba berfikiran positif, saya hanya membayangkan calo taksi yang sering kita temui di Bandara Soekarno Hatta.

Abdullah demikian nama pengemudi Toyota hilux berikutnya, dia sedang sholat saat kami tiba di pom bensin itu. Dalam lanjutan perjalanan dengan Abdullah, kami menyusuri garis pantai yang indah dan sesekali melewati perkampungan kumuh. Jalanan sebagian besar beraspal namun banyak sekali potongan jalan yang rusak parah. Memahami keheranan saya, Abdullah mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah peduli dengan kondisi yang demikian, mereka terlalu sibuk dengan perang. Lalu diapun membuka dashboard mobil dan menunjukkan sebuah pistol revolver. Di Yaman, katanya, hampir semua orang memiliki senjata. Soal perang yang menimpa Yaman, Abdullah menyampaikan bahwa sampai saat ini wilayah Timur Yaman berada dalam situasi yang aman. Tidak ada hal-hal yang menarik di wilayah Timur yang membuat pihak-pihak yang bertikai berminat masuk. Saat saya tanya apa saja hal-hal yang menarik itu dia bilang bank dan gudang persenjataan.

Di sepanjang perjalanan saya mendengarkan Abdullah berbicara dengan beberapa orang menawarkan ‘proyek taxi’ membawa kami ke Tarim. Kembali bayangan Bandara Soekarno Hatta muncul di kepala.  Benar saja, setelah 2 jam perjalanan, Abdullah sampaikan bahwa kita akan berhenti di Al-Ghaidah untuk ganti mobil dan pengemudi. Kami kembali bertemu dengan calon pengemudi kami berikutnya (kembali) di pom bensin yang tidak berfungsi sekitar jam 5 sore. Abdullah meminta saya membayar ongkos taxi. Saya sampaikan bahwa uang akan saya bayar saat kami tiba di Tarim. Setelah perdebatan beberapa saat, akhirnya kami sepakati untuk membayar uang yang menjadi ‘hak’ Abu Muhammad dan Abdullah, sementara sisanya akan saya bayarkan kepada pengemudi berikutnya sesampainya kami di tempat tujuan. Cukup adil menurut saya.

Supir kami berikutnya adalah Said, seorang anak muda Yaman dengan pakaian tradisional yaman, kemeja dan sarung. Dia membawa mobil corolla tahun 2000-an berwarna putih. Deal berhasil dicapai oleh Abdullah dan Said, lalu barang bawaan kami pindahkan dan meluncurlah kami dari Al Ghaidah. Belum ada kejelasan apakah kami akan kembali pindah mobil. Perjalanan berikutnya kami tempuh selama 5 jam ke arah Utara melalui padang pasir dan pegunungan batu yang gelap gulita dengan melewati 3 kali pemeriksaan bersenjata. Dan tibalah kami di Sahen, kota di Yaman yang berbatasan dengan kota Mezyunah di Oman. Kami istirahat untuk sholat dan makan malam di Sahen. Selesai makan kami mencari bensin untuk melanjutkan perjalanan. Bensin tidak kami dapatkan di pom bensin di kota Sahen, melainkan di pasar bebas. Abdullah berhasil mengisi bensin mobil full dan membawa 1 galon bensin yang disimpan di bagasi mobil untuk cadangan. Ternyata kami tidak harus pindah mobil di pemberhentian ini.

Mengikuti proses pindah-pindah mobil mengingatkan saya pada berita yang sering saya baca mengenai terorisme atau narkoba yang bergerak berdasarkan sel-sel kecil yang tidak kenal antara satu dengan yang lainnya. Rasa takut tentunya masih ada. Bagaimana jika kami dibegal di tengah padang pasir, bagaimana jika di tengah jalan terjadi penyerangan bersenjata, bagaimana jika… bagaimana jika… segala bayangan buruk tetap menghantui. Belum lagi selama perjalanan kami putus kontak dengan dunia luar karena memang tidak memiliki telpon seluler yang aktif di Yaman. Tapi kembali rasa pasrah Lillahi Taála, memberikan keyakinan yang kuat dalam diri kami.

Sekitar pukul 23.00 kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah Barat, kembali melalui padang pasir dan pegunungan batu yang gelap gulita dan melewati 2 pemeriksaan bersenjata. Ada cerita menarik saat di pemeriksaan bersenjata yang kedua. Karena suatu hal, Abdullah tertahan di pemeriksaan kali ini. Petugas bersenjata menahan surat mobilnya. Saya pun lalu memberanikan diri untuk turun dan menyapa sang penjaga yang hanya berdua. Sedikit basa-basi, saya pun memberikan rokok kretek kepada mereka dan seketika cairlah suasana. Pos-pos jaga yang kami lalui hanyalah berupa bangunan, bedeng lebih tepatnya dari bata dan tanah seukuran 2x2 m tanpa dicat. Di tengah jalan diletakkan drum dengan bendera di atasnya.

Tertarik melihat bendera sobek yang berkibar di atas drum, saya pun minta ijin untuk mengambil foto disitu. Bukan hanya diijinkan, tanpa disangka si penjaga langsung melepaskan senapan otomatisnya dan memberikan kepada saya untuk dipakai bergaya foto dengan AK-47. Kesempatan ini pun digunakan oleh teman-teman anggota Tim lainnya untuk bergaya. Jadi kalau saya bilang Tim-2 ikut angkat senjata di Yaman…secara harfiah benar adanya…

Azan subuh terdengar ketika kami mulai memasuki perkampungan di propinsi Hadhramaut. Suasana kota berbeda dengan perkampungan yang kami lalui sebelumnya. Abdullah bilang kalau kita akan memasuki kota Tarim dalam waktu sekitar 1 jam lagi. Kami berhenti di salah satu masjid dan melaksanakan Sholat Fajar.

Selesai sholat berjamaah, saya melakukan sujud syukur sebagai ungkapan rasa syukur saya yang tiada terhingga kepada Sang Maha Pelindung atas segala perlindungan yang diberikan kepada saya dan seluruh anggota Tim, sehingga kami bisa melangkah sampai sejauh ini dengan selamat.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun