Surat itu datang hari kamis pada setiap minggunya. Itu pun hanya 7 pucuk surat yang sampai kepadaku. Setelah itu tak pernah ada. Mungkin ia telah gugur ngenger Kang Mu'in seperti yang telah dikabarkan kepadaku pada surat ke 5.
Tidak ada yang bisa aku lakukan. Hanya menangis dan sesekali entah kenapa aku terbahak. Sekeras-kerasnya membahaki ketololanku yang tidak tahu harus berbuat apa dengan ketidak adilan ini. Perlahan kewarasanku semakin jauh. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, yang aku tahu aku telah berdiri tepat di tengah alun-alun tanpa menggunakan sehelai apapun di tubuhku. Mematung mengimani arah cayaha matahari dengan membentangkam sebuah kertas bertuliskan 'Waska, mati bukan karena bersalah. Tapi terlahir dan besar di bawah rezim yang salah!"
***
Aku menuliskan ini hanya untuk mengenang, Waska. Bukan mengulang. Baik-baik di sana. Tunggu aku, senjaku menua dan sebentar lagi pasti gelap abadi.
'18
--------------------------------------------------
*ngidung: Kata dasar kidung. Awalnya 'kidung' menurut W.J.S Poerwadarminto (1973;Â 130) berarti 'uran-uran' atau tembangan. Seiring waktu dan perkembangan jaman diartikan 'nyanyian' atau 'menyanyi'
*ngambyang: Ngelantur/ bermimpi  muluk-muluk
*een sort van straatliedje: Puisi rakyat yang dinyanyikan di jalanan.
Note: Tidak diartikan berdasar KBBI.