Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tahun Baru, Pesta Seks, dan Ritual Nikmat

2 Januari 2015   19:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:57 6251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420175905506159328

[caption id="attachment_387861" align="aligncenter" width="576" caption="ilustrasi"][/caption]

TAHUN baru tak hanya identik dengan terompet, karnaval, pesta tengah malam, serta kembang api. Di beberapa negara, tahun baru juga identik dengan pesta seks. Kini, pesta seks ini ikut menjadi wabah di tanah air kita. Entah sejak kapan dimulai, dan entah siapa yang membawanya. Yah, meskipun pahit, inilah fakta yang tengah melanda generasi kita hari ini.

***

SEBUAH pesan terkirim ke nomor ponsel saya. Seorang sahabat yang berprofesi sebagai pengusaha mengirimkan pesan untuk ketemuan di malam tahun baru. Saya tak terlalu bersemangat menanggapi. Di saat bersamaan, saya punya acara sendiri dengan teman kantor. Sahabat itu kembali kirim pesan, "Kamu rugi kalau tak datang. Saya lagi punya pacar ABG. Dia akan ajak teman-temannya untuk ikut party."

Saya dan teman itu punya hubungan panjang. Selain kami sama-sama berasal dari Sulawesi, kami juga pernah bekerja di tempat yang sama. Hanya saja, saya memilih hengkang karena berbagai alasan. Dirinya tetap konsisten di jalur itu, dan selanjutnya berhasil menjadi kaya-raya.

Saya tak mengerti apa maksud pesannya hari ini. Kami baru ketemuan lagi beberapa hari lalu. Ia sudah bukan sahabat yang dulu. Ia sudah menjadi pria metropolis. Pakaiannya nampak mahal. Rambutnya disisir rapi. Aroma tubuhnya sangat khas aroma parfum berkelas. Pembicaraannya selalu tentang bisnis. Ia menyebut investasi, produk, dan juga marketing (pemasaran). Saya lebih suka mendengarkannya ketimbang ikut berbicara.

Beberapa tahun silam, ketika dirinya masih pengusaha kecil, ia pernah memanggil saya untuk merayakan tahun baru di satu diskotik, yang kini telah ditutup oleh Ahok. Saya menyaksikan berbagai minuman di atas meja. Hampir semua bermerek impor. Teman itu menggelar pesta dengan sejumlah pramugari sebuah maskapai. Ia serupa raja minyak yang dikelilingi gadis cantik.

Saya memandang gadis-gadis itu. Semuanya muda dan cantik. Semuanya seksi. Mereka larut dalam pesta yang diiringi musik berdentam-dentam. Di tempat itu, tak ada dialog. Hanya ada tawa cekikikan serta suara denting gelas yang beradu ketika hendak diminum. Beberapa orang menari untuk mengikuti musik. Entah kenapa, di tengah hingar-bingar itu, saya tak menemukan di mana letak kenikmatannya.

Melihat saya terdiam, teman itu lalu mendekat. Ia berbisik, "Jangan pulang dulu. Seteah pesta, akan ada pesta seks." Saya bisa merasakan aroma minuman terpancar kuat. Saya lalu melirik ke arah gadis-gadis itu. Saat itu, perasaan saya sangat tidak nyaman. Saya memilih pulang dan beristirahat.

Apakah gerangan yang dicari oleh mereka yang sedang berpesta itu? Terhadap teman saya, analisis sosiolog Daniel Bell paling pas menjelaskannya. Kata Bell, kapitalisme memiliki kontradiksi dalam drinya. Kapitalisme memaksa manusia untuk menjadi pekerja keras di siang hari, dengan mematuhi semua hukum ekonomi yakni efisiensi, sedikit pengorbanan, demi meraih hasil besar. Akan tetapi di malam hari, manusia akan menjadi dirinya. Aspek budaya akan menuntut pemenuhan. Manusia akan 'dipaksa' untuk seboros mungkin demi memenuhi naluri pesta dan kebahagiaan.

Hari-hari yang dilalui teman saya adalah bekerja. Ia seorang pekerja keras yang setiap hari mengejar client agar bersedia bekerjasama. Uang laksana menempel dengannya. Sekali proyeknya berhasil, ia punya dana segar untuk berpesta selama beberapa bulan. Di siang hari ia pekerja keras yang amat irit belanja, namun di malam hari, ia menjadi seorang pemboros yang meminum bir jauh lebih banyak dari kebiasaannya minum air putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun