Tanpa kuminta, ia menjelaskan sejarah Wat Chalong yang penuh misteri. Tahun pasti pendirian kuil ini tak diketahui persis. Sejarawan lokal meyakini bahwa konstruksi dasarnya dibangun pada masa Raja Rama II (1809-1842). Pada tahun 1876, di bawah Raja Rama V, kuil ini menjadi tempat pengungsian wara lokal akibat kerusuhan. Biksu Luang Pho Chaem memberikan kekuatan bagi warga yang ketakutan, sehingga patungnya lalu diabadikan warga setempat, bersamaan dengan pendirian bangunan utama kuil.
Perempuan seksi itu lalu bercerita tentang bangunan berlantai tiga yang kami masuki. Katanya, bangunan itu adalah pagoda yang berukuran 61,4 meter. Bangunan itu menyimpan Phra Borom Sareerikatat atau sepotong tulang Budha yang dibawa dari Sri Lanka pada tahun 1999. Potongan tulang itu dibawa dan disimpan di dalam pagoda pada tahun 2002 dalam upacara kehormatan yang dipimpin oleh Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn.
Tulang itu disimpan dalam kotak kaca yang dikelilingi oleh patung-patung Budha berwarna keemasan. Ia terletak di lantai tiga Wat Chalong Chedi atau kuil Budha terbesar di Phuket. Dalam bangunan yang penuh dengan hiasan tersebut, kisah hidup Sang Budha digambarkan secara singkat.
Tulang Sang Budha itu membuatku tergetar. Aku langsung merasakan sebuah aura seorang manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk kedamaian dan keterangan batin. Aku teringat tulisan Annemarie Schimmel yang menyebutkan adanya makna yang hadir pada benda-benda yang pernah disentuh atau bagian dari seorang besar. Kata Schimmel, di balik setiap benda material, selalu ada aspek mitik yang merupakan endapan energi dari seorang manusia besar.
[caption id="attachment_316799" align="aligncenter" width="576" caption="hio yang dipakai untuk berdoa"]


Perempuan itu lalu menunjukkanku dinding yang dipenuhi lukisan kisah hidup sang Budha. Ia lalu menjelaskan satu per satu makna setiap gambar. Pernah aku membaca delapan jilid komik Buddha yang digambar oleh dewa komik Jepang Osamu Tezuka. Dalam jilid kedua, ada kisah yang amat menyentuh hati tentang empat perjumpaan. Kisahnya bermula ketika Pangeran Sidharta keluar dari istananya. Ia kemudian bertemu dengan empat kenyataan yang membuat hatinya teriris-iris.
Mulanya, Sidharta menyaksikan orang tua yang jalannya tertatih-tatih. Selanjutnya, ia melihat perempuan yang dilanda sakit parah, setelah itu ia melihat tulang belulang. Terakhir ia bertemu pertapa. Empat perjumpaan itu membuat Sidharta merenungi tentang hakikat hidup. Bahwa manusia adalah mahluk yang amat rapuh, bisa terserang penyakit, pasti mengalami ketuaan, hingga akhirnya menjadi tulang-belulang. Lantas, jika kehidupan sedemikian fana, mengapa pula manusia harus meletakkan kehidupan sebagai segala-galanya?
Sidharta lalu memilih hidup sebagai pertapa yang melepaskan segala nikmat dunia. Ia menghadirkan cahaya terang yang menyelusup ke hati banyak orang, bahkan di zaman yang jauh ketika dirinya telah wafat. Ia mewariskan sesuatu yang tidak kecil, sebab menjadi suluh terang bagi banyak orang yang hendak menemukan kedamaian. Sidharta adalah seorang yang meninggalkan kemewahan dunia. Ia menyebut kemewahan serta rasa kemelekatan atas dunia sebagai penjara-penjara yang menghalang manusia untuk menemukan kedamaian.
[caption id="attachment_316801" align="aligncenter" width="576" caption="kuil Wat Chalong yang nampak permai"]

Aku bukan seorang penganut Budha. Tapi aku bisa merasakan bahwa cinta yang dahsyat dari banyak orang tersebut pastilah memiliki argumentasi sendiri. Di balik kesederhanaan Budha terselip satu kekuatan besar tentang dunia yang lebih baik. Jika saja manusia bisa memasangi kekang pada hawa nafsunya, maka dunia masa depan akan menjadi dunia yang amat indah, sebab semua orang akan saling respek, saling menghargai persaudaraan, dan menemukan pertautan jiwa.
Sayang, seusai batinku basah oleh gambaran tentang Budha, aku kehilangan jejak perempuan yang menemaniku itu. Mungkin ia lebih dulu turun ke lantai dasar tanpa sempat memberitahuku. Bahkan ketika kucari ke lantai dasar, bayangan perempuan itu telah lenyap.