Ibu di Bandung ini terjerat dalam realitas tersebut. Utang yang menumpuk dianggap sebagai aib besar. Kemiskinan bukan lagi dipandang sebagai ujian hidup, melainkan sebuah kehinaan. Kapitalisme telah menanamkan dalam benak manusia bahwa harga dirinya setara dengan jumlah uang di rekening.
Hedonisme: Bahagia Harus Instan, Hidup Harus Mewah
Budaya hedonistik yang ditanamkan oleh sistem kapitalis semakin memperparah keadaan. Media, iklan, dan gaya hidup selebritas mendorong manusia untuk mengejar kesenangan instan. Hidup sederhana dianggap membosankan, sedangkan gaya hidup mewah ditampilkan sebagai satu-satunya standar kebahagiaan.
Akibatnya, orang yang tidak mampu mengikuti standar itu merasa rendah diri, terasing, bahkan putus asa. Utang pun sering menjadi jalan pintas untuk mengejar gaya hidup semu. Dan ketika utang semakin menjerat, depresi pun menjadi jalan buntu.
Sekularisme: Hilangnya Makna Hidup
Tragedi ini juga tak lepas dari dominasi sekularisme---paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem sekuler, agama hanya ditempatkan di ruang privat: shalat, doa, dan ritual. Tetapi dalam urusan ekonomi, sosial, dan politik, agama disingkirkan.
Akibatnya, manusia kehilangan pandangan hidup yang menyeluruh. Hidup tidak lagi dimaknai sebagai ibadah kepada Allah, melainkan sebatas perjuangan mencari uang, status, dan pengakuan sosial. Ketika dunia menutup jalan, bunuh diri pun dianggap solusi.
Padahal, dalam Islam, penderitaan adalah bagian dari perjalanan hidup yang bermakna. Ujian bukan tanda kegagalan, melainkan peluang untuk meraih pahala besar. Tetapi karena sekularisme mencabut makna itu, manusia pun mudah tergelincir ke dalam keputusasaan.
Mengurai Akar Masalah
Tragedi di Bandung ini bukanlah kasus pertama. Banyak peristiwa serupa terjadi: orang tua membunuh anak lalu bunuh diri, mahasiswa mengakhiri hidup karena tekanan ekonomi, hingga pekerja yang nekat mengakhiri hidup karena utang.
Semua ini menunjukkan adanya akar masalah sistemik: