Mohon tunggu...
Yushril Ilham
Yushril Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (Ilmu Pemerintahan)

Kita sebagai warga negara indonesia sangat berhak mendapatkan pengajaran atau pendidikan yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Resahnya Masyarakat Sosial terhadap Wabah Virus Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia

3 Desember 2020   14:32 Diperbarui: 6 Desember 2020   04:44 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Yushril Ilham Roibafi, Mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang

Untuk masa demokrasi. “Dalam pandemi Covid-19 ini kerap terjadi keresahan di masyarakat jika ada warga yang diumumkan terpapar Covid-19. Apa yang akan Anda lakukan dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19 dan bagaimana cara penanggulangannya? menangani keresahan publik yang telah melakukan kontak dengan pasien Covid-19?

Ujian dan bahaya Dengan mengacu pada sepuluh ciri transisi demokrasi di atas, setidaknya dapat diidentifikasi enam tantangan demokrasi di Indonesia terkait pandemi Covid-19.Jika dikategorikan, enam tantangan itu bisa dikelompokkan menjadi tiga ujian dan tiga bahaya demokrasi, ujian eksistensi, dan komitmen pada prinsip negara kesatuan.

Jika ini benar, seharusnya tidak ada perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan kebijakan penanggulangan pandemi Covid-19. Dikatakan demikian, karena dalam negara kesatuan, asas hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan seperti di negara bagian. Oleh karena itu, otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah bukanlah otonomi penuh seperti di negara bagian. Jika ternyata pemerintah daerah seolah-olah merasa memiliki otonomi penuh, maka hal ini yang perlu dibenahi untuk membenahi. Namun di sisi lain, pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan niscaya dituntut tegas dan pasti dalam pelaksanaan keputusan yang telah diambil. Inilah karakter sebenarnya dari negara kuat yang harus ditunjukkan oleh pemerintah pusat dalam mengatasi kondisi genting akibat wabah Covid-19 yang mencekam saat ini. uji kemampuan dan kualitas kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah.

Demokrasi seolah menjebak kita dalam situasi yang menuntut kita berada di salah satu dari dua posisi: mendukung atau menentang kepemimpinan politik hasil pemilu. Akibatnya, kompleksitas demokrasi yang luas sebagai sistem politik yang membuka peluang partisipasi politik warga negara untuk mencatat kesejahteraan masyarakat direduksi menjadi hanya soal dukungan dan oposisi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan warga negara untuk menanggapi langkah-langkah yang diambil oleh para pemimpin politik untuk menangani wabah mendukung atau menentangnya.

Tidak masalah bagi banyak pendukung untuk mempertahankan kebijakan yang diambil, terlepas dari apakah kebijakan itu "baik" atau "buruk". Dan sebaliknya. Tidak masalah bagi banyak penentang untuk mengkritik semua kebijakan yang diambil, terlepas dari apakah kebijakan itu "baik" atau "buruk". Akibatnya, kepemimpinan politik tidak pernah mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik secara efektif. Akan selalu ada dukungan palsu, dan akan selalu ada lawan acak. Itulah mengapa demokrasi elektoral cenderung menggerogoti esensi partisipasi politik dan kontrol publik yang demokratis. Salah satu indikator penting dari adanya legitimasi otoritas negara adalah dukungan dan kepatuhan warga negara terhadap berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Dengan demikian, bila dukungan dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid-19 juga dapat diartikulasikan sebagai bagian dari ujian nyata eksistensi otoritas negara. Keempat, bahaya politisasi covid-19 bagi pencitraan politik jelang Pilpres 2024.

Tantangan demokrasi keempat ini terkesan berlebihan, dan cenderung prematur. Namun, sebagai langkah antisipatif, hal itu harus diperhatikan. Sifat pemilu, termasuk pemilu presiden, adalah perebutan kekuasaan. Karenanya, kata Machiavelli, segala cara akan dibiarkan, termasuk politisasi bencana Covid-19 untuk pencitraan politik. Sedangkan tracing dilakukan di sekitar tempat tinggal yang bersangkutan atau yang pernah berinteraksi. Itu usaha kita. Padahal, saat ini saya sangat khawatir kenaikan Covid-19 akan meningkat.

Beberapa waktu lalu, saya sempat diisukan terkena Covid-19. Memang dibutuhkan peralatan yang lebih canggih untuk mencegah wabah virus ini, “Wabah Covid-19 sangat mengganggu dan sampai-sampai masyarakat dunia sangat mengkhawatirkan kejadian ini karena merasa virus ini juga akan berdampak pada sistem suatu negara yang terpengaruh baik dari segi kesehatan, ekonomi. serta kelangsungan hidup bangsa, individu itu sendiri dan saat itu. Kabar tentang wabah virus Corona masih awal diperbincangkan karena pengetahuan masyarakat sendiri tentang bagaimana cara menghindari atau mencegah wabah virus masuk ke lingkungannya.

Di Indonesia juga turut andil dalam mencegah masuknya virus ini ke Tanah Air karena hingga saat ini penularan virus Corona terus terjadi. Terbukti dengan meningkatnya 109 kasus positif Corona, bahaya politisasi kebijakan social distancing untuk menekan hak menyampaikan aspirasi di ruang publik. Oleh karena itu, untuk menghindari 'kebohongan di antara kita', penyelenggara negara, khususnya DPR RI, harus menunda sejumlah agenda penting pengambilan keputusan, yang menuntut adanya sharing aspirasi publik, selama masa pembatasan sosial. Dengan bahaya mempolitisasi program bansos covid-19 untuk menggalang dukungan jelang kontestasi Pilkada 2020.

Jika tidak dikelola secara ketat dan tepat, kemungkinan besar akan terjadi tren yang sama dalam pelaksanaan program bansos Covid-19. Terakhir, penting untuk ditekankan di sini, bahwa uraian singkat di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk membangun perspektif pesimistis, tetapi justru sebaliknya. Dengan wacana publik semacam ini diharapkan dapat merangsang kepekaan pihak terkait untuk merefleksikan konsep dan praktik demokrasi di tanah air selama ini. Dengan demikian, komitmen “NKRI yang telah ditegakkan di atas batu karang” dan “kedaulatan rakyat” yang diamanatkan oleh pemilihan presiden, legislatif dan pilkada, tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi terwujud dalam realitas.

Kondisi Politik dan pemerintahan dalam era pandemi

Pertama,Di tengah pandemi COVID-19, secara substansi demokrasi tidak banyak berubah. Pada dasarnya kita masih menghadapi masalah demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, check and balances DPR yang masih lemah. Kondisi seperti ini sepertinya sudah menjadi sifat DPR di era Jokowi yang umumnya kurang kritis dan hanya sekedar pendukung otoritas.Hal ini diperkuat dengan sikap DPR yang terkesan tidak terlalu terganggu oleh lambannya respons pemerintah pusat sejak virus mulai menyebar. Begitu pula ketika muncul beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Kalaupun pemberian bansos tidak lancar dan ada citra penyaluran sembako, DPR seolah tak bergeming. Meski suara-suara kritis sudah mulai terdengar, secara umum rasa terlalu protektif parlemen terhadap pemerintah masih terasa.

Kedua, dengan sinergi dan koordinasi internal pemerintah yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini menyebabkan terjadinya persilangan di jajaran pemerintahan sendiri. Konsentrasi kekuasaan dan birokrasi dalam menentukan kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) merupakan imbas dari situasi yang tidak terkoordinasi dan tidak sinergis ini.Sentralisasi kebijakan ini kerap dipertanyakan, mengingat PSBB harus segera dilakukan oleh kepala daerah tanpa harus menunggu keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi faktanya kita sudah lamban dalam merespon pandemi ini.

Ketiga, Dalam beberapa hal lain yang turut andil dalam kehidupan politik ini adalah perlindungan citra pemerintah. Pemerintah seakan-akan melihat bahwa martabat di masa krisis harus dijaga, sayangnya ini berarti mengawasi masyarakat. Tak heran bila polisi diminta lebih intens dan proaktif dalam melindungi simbol negara, termasuk presiden.

Keempat, adanya kebijakan yang cenderung oligarki, yaitu Perppu No.1 / 2020. Beberapa kalangan mengkritisi kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya maladministrasi yang tidak bisa diawasi bahkan dituntut oleh lembaga negara itu sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk memanfaatkan keuangan negara hanya dengan itikad baik, yang secara riil berpotensi menyuburkan praktik kolusi. Kedua hal tersebut menjadi alasan yang cukup kuat untuk menolak kebijakan ini karena berpotensi untuk dimanfaatkan oleh oligarki.

Penulis: Yushril Ilham Roibafi (018), Mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang,Prodi/Jurusan: Ilmu Pemerintahan (A)

Link tautan: 

https://instagram.com/ummcampus?igshid=1iqckwxve6jeh

https://twitter.com/ummcampus?s=21

https://instagram.com/prodiipumm?igshid=b8bvmsnk4pmc

https://instagram.com/yushrilhm__?igshid=mhlz3p3psiv0

https://twitter.com/prodipumm_86?s=21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun