Mohon tunggu...
Yus Alvar Saabighoot
Yus Alvar Saabighoot Mohon Tunggu... Dosen

Saya adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Terbuka (UT). Dengan pengalaman mengajar lebih dari 6 tahun, saya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini melalui pendekatan inovatif dan berbasis penelitian. Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pelatihan guru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Abadi Memecah Tabir

6 Oktober 2025   22:47 Diperbarui: 6 Oktober 2025   23:03 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Foto Puncak Sunyi (Sumber: Gemini)

Rumah Pohon dan Peti Tikar

Namaku Arai. Aku adalah sulung dari empat bersaudara, dibesarkan dalam sebuah sangkar emas yang ditenun dari benang adab dan etika. Ayah dan Ibu tak pernah memberiku harta, tapi mereka mengisi dadaku dengan permata yang lebih berharga hati yang penuh cinta dan hormat. Bagiku, menunduk pada yang tua dan merangkul yang muda adalah napas, bukan sekadar kewajiban.

Masa kecilku beraroma daun mangga dan nasi hangat. Di halaman belakang, sebuah pohon mangga tua berdiri gagah, dan di salah satu cabangnya yang kokoh, aku dan kawan-kawanku membangun istana kami. Sebuah rumah pohon sederhana, tempat kami bukan hanya berbagi tawa, tapi juga nasi bancakan yang kami bawa dari dapur ibu masing-masing. Di atas sana, kami adalah raja-raja kecil dengan dunia tanpa batas, sebuah kemewahan jiwa yang kini telah direnggut oleh layar-layar dingin gawai dari anak-anak zaman sekarang.

Namun, takdir menarikku dari dahan pohon mangga itu ke sebuah dunia yang sama sekali berbeda, pesantren di Bekasi. Jauh dari pelukan Ibu, aku ditempa untuk menjadi pribadi yang ikhlas dan sabar. Pesantren itu sendiri adalah sebuah legenda. Sosok Kiai-nya begitu karismatik, seolah tatapannya mampu membaca isi kitab di dalam hatimu. Masjidnya, sebuah mahakarya arsitektur yang megah, lahir dari bisik-bisik legenda; konon dibangun dalam satu malam oleh bala tentara jin, serupa mukjizat Nabi Sulaiman.

Di sanalah aku bertarung dengan baris-baris kitab kuning dan panggung muhadoroh. Hingga suatu malam, sebuah peristiwa gaib mengukir takzim abadi dalam jiwaku. Lelah, aku menyelinap ke dalam masjid agung itu untuk berlatih pidato tanpa berwudu. Kantuk mengalahkanku. Aku tak tahu berapa lama aku terlelap, tapi aku terbangun dalam kungkungan gelap yang menyesakkan. Kepanikan merayap saat aku sadar tubuhku terhimpit di dalam sebuah peti kayu panjang, tempat penyimpanan tikar-tikar salat yang digulung. Jantungku berdebar memukul-mukul rusuk. Bagaimana bisa?

Dengan sisa tenaga, aku mendorong tutup peti dan merangkak keluar. Masjid sunyi senyap, seolah menyimpan rahasia kelalaianku. Seorang kakak tingkat yang menemukanku pucat pasi hanya berbisik, "Penunggu masjid ini tak suka disambangi tanpa bersuci, Rai." Sejak malam itu, misteri peti tikar menjadi penjaga batinku. Aku tak pernah lagi berani melangkahkan kaki ke dalam rumah Allah tanpa menyucikan diri terlebih dahulu.

Kord Nirvana dan Solidaritas Jalanan
 Foto Gema Dua Sisi  (Sumber: Gemini)
 Foto Gema Dua Sisi  (Sumber: Gemini)

Rindu Ibu adalah kekuatan yang mampu menarikku pulang melintasi jarak ratusan kilometer. Ayah akhirnya membawaku kembali dan memasukkanku ke sekolah umum. Di sinilah hidupku seperti kaset yang dibalik ke sisi yang lain. Gema selawat dari menara pesantren digantikan oleh distorsi kasar gitar Kurt Cobain dari sebuah tape recorder butut. Kitab Alfiyah berganti dengan buku-buku mekanika teknik.

Aku menemukan diriku yang lain di Sekolah Teknik Menengah (STM). Aku bukan anak yang cerdas, tapi pesantren telah mewarisiku kesabaran yang tak terhingga. Aku bisa duduk berjam-jam, memecahkan satu soal mesin yang rumit dengan ketekunan yang sama seperti saat aku menghafal nadhom. Cita-citaku tak lagi menjadi seorang ustaz, melainkan menjadi insinyur hebat di Jepang, mengikuti jejak Uwa.

Masa remaja ini mengajariku tentang kesetiaan dalam versi yang berbeda. Aku pernah merasakan kerasnya bogem mentah dalam sebuah tawuran, bukan karena aku beringas, tapi karena seorang kawan dilecehkan. Di mata kami, itu bukan kenakalan, melainkan solidaritas sumpah darah persaudaraan yang tak tertulis. Malam-minggu kami adalah surga sederhana. Berkumpul di pos ronda, mengulik melodi renyah dari Pas Band dan Slank, bertukar cerita hingga pagi, rasanya dunia ada dalam genggaman kami.

Pahala untuk Ayah

Lalu tibalah persimpangan itu. Persimpangan yang memaksaku memilih antara jalan yang kuinginkan dan jalan yang diinginkan ayahku. Hatiku telah terpahat untuk mesin dan nada, tapi Ayah menginginkanku menjadi guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun