Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilih Pemimpin Transformasional, Karismatik, Koalisional, atau Machiavelis

13 Januari 2019   15:39 Diperbarui: 26 November 2021   17:06 4387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://medium.com/thrive-global

Tidak mudah menjadi seorang pemimpin baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga apalagi untuk sebuah bangsa dan negara. Semakin besar yang dipimpin semakin berat pula tugas seorang pemimpin, karena tuntutan pada kepemimpinan akan semakin besar pula.

Menjadi seorang Presiden suatu negara tentu saja lebih berat, lebih susah dan lebih rumit juga dan tanggungjawabnya lebih besar. Sehingga, untuk menjadi seorang Kepala Negara dibutuhkan dan dituntut persyaratan yang jauh lebih sulit, dengan proses dan prosedur yang sangat ketat hingga berada di posisi jabatan orang nomor satu di suatu negara.

Persoalan mencari dan memilih seorang presiden, dalam kultur demokrasi, menjadi tugas dan tanggungjawab dari warganegaranya. Melalui sistem dan mekanisme yang dibangun untuk berusaha menemukan dan mencari calon-calon presiden yang terbaik yang akan dipercayakan mengendalikan perjalanan pembangunan bangsa dan negara selama 5 tahun kedepan.

Oleh karenanya publik harus memilkiki pemahaman yang benar tentang calon dari pimpinan yang akan dipilih sesuai dengan kebutuhan yang diyakini untuk perjalanan selama lima tahun. Ada banyak pilihan gaya kepemimpinan yang bisa dijadikan acuan atau pertimbangan oleh publik, agar sesuai dengan harapan kalau nantinya pemimpin itu terpilih.

Dalam buku teksnya berjudul Leadership, Richard Daft menjelaskan ada 4 pilihan gaya kepemimpinan yang bisa memperlihatkan sosok seorang kandidat yang akan dipilih dalam sebuah kontestasi kepemimpinan. Keempat gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah

Sebetulnya jenis-jenis dari Leadership Style itu sangat banyak, bahkan saking banyaknya sering membingungkan orang yang memahaminya dengan benar, dan karenanya juga pembahasan dan analisisnya juga sering tidak jelas arahnya.

Di bagian ini dijelaskan oleh Daft, bagi keempat jenis gaya kepemimpinan diatas berdasarkan 4 macam bentuk pengaruh yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin sesuai dengan kebutuhannya, atau kebiasaan yang diyakini oleh seorang pemimpin, dan tentu saja cocok dengan keadaan yang dihadapi.

Persoalan kepemimpinan sering muncul ketika seorang pemimpin menerapkan sebuah gaya kepemimpinan tertentu, tetapi sebetulnya tidak sesuai atau tak cocok dengan kondisi empiris orang atau komunitas yang dipimpinnya. Bila ini yang terjadi, maka sangat mungkin kepemimpinan itu akan gagal. Kalau tidak gagal, maka akan banyak masalah muncul dan menjadi hambatan serius dalam mencapai tujuannya.

Richard Daft (2017) mengingatkan, bahwa salah satu kata kunci dalam pengertian kepemimpinan  adalah kata pengaruh. Seorang pemimpin itu mengelola hubungan yang mempengaruhi pengikut atau followernya. Leadership adalah hubungan yang mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut (followers) yang menginginkan perubahan dan hasil nyata yang mencerminkan tujuan bersama mereka.

Untuk membantu konstituen atau pemilih dalam memilih seorang pemimpinnya, perlu mengenal dengan baik karakteristik khusus dari gaya kepemimpinan yang tersedia, agar tidak salah memilih, dan pada akhirnya nanti akan menjadi kecewa untuk waktu yang panjang.

1. Transformational Leadership

Transformational leadership ditandai dengan kemampuan untuk membawa perubahan yang signifikan, baik perubahan bagi pengikutnya maupun bagi organisasi yang dipimpinnya. Transformational leader memiliki kemampuan untuk memimpin perubahan bagi visi, strategi dan budaya di dalam organisasi dan mempromosikan inovasi dalam produk atau jasa dan pelayanan serta teknologi yang sangat dibutuhkan bagikemajuan organisasi.

Untuk memudahkannya, maka cara untuk memahami transformational leadership dengan membandingkannnya transactional leadership. Orang sering sekali keliru mempertentangan antara kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional. Seakan-akan kepemimpinan transaksional tidak baik dan jelek ketimbang kepemimpinan transformasional yang lebih bagus.

Dalam praktek, kedua macam gaya kepmimpinan ini tidak bisa dipisahkan, tetapi saling melengkapi untuk keberhasilan seorang pemimpinan. Walaupun ada penekanan tersendiri di masing-masing gaya, seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

Dasar dari transactional leadership adalah sebuah transaksi atau proses pertukaran antara leader dan follower. Pemimpin dengan transactional leadership mengakui kebutuhan dan keinginan follower-nya, kemudian mengklarifikasikan bagaimana kebutuhan dan keinginan tersebut akan memuaskan follower jika follower dapat mencapai tujuan tertentu dan tugas tertentu. Sehingga, followers menerima penghargaan atas kinerjanya dan leader memperoleh manfaat dari tugas yang diselesaikan dengan baik oleh followersnya.

Transactional leader berfokus dalam menjaga agar organisasi berjalan lancar dan efisien serta menjaga stabilitas dalam organisasi daripada mempromosikan perubahan. Sedangkan transformational leadership berfokus pada kualitas berwujud seperti visi, nilai bersama, dan ide-ide untuk membangun hubungan, memberikan arti yang lebih besar untuk setiap  kegiatan, dan menginspirasi orang untuk berpartisipasi dalam proses perubahan. Transformational leadership didasarkan pada nilai pribadi, keyakinan, dan kualitas dari pemimpin bukan pada proses pertukaran antara pemimpin dan pengikut.

Ada 4 area khusus yang membedakan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan gaya kepemimpinan transaksional, yaitu:

  1. Transformational leadership menggambarkan sebuah visi besar mengenai masa depan yang diinginkan dan mengkomunikasikannya secara efektif.
  2. Transformational leadership menginspirasi followernya untuk mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan sendiri.
  3. Transformational leadership memberikan perhatian kepada follower dari kebutuhan fisik tingkat yang lebih rendah (seperti keselamatan dan keamanan) sampai dengan kebutuhan psikologis tingkat tinggi (seperti harga diri dan aktualisasi diri)
  4. Transformational leadership mengembangkan followernya untuk menjadi leader.

Di dalam praktek dan implementasi fungsi dan tugas kepemimpinan, difahami bahea para pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menunjukan kedua pola kepemimpinan, yaitu baik Transformational Leadership dan Transactional Leadership. Mereka bukan hanya menekankan pada kemampuan mereka dalam membangun visi dan memberdayakan dan memberikan energi yang postif, tetapi juga memiliki kemampuan untuk merancang struktur, sistem kontrol, dan sistem penghargaan yang dapat membantu orang-orang dalam organisasi mencapai visi yang ditetapkan secara bersama-sama oleh organisasi atau perusahaan.

2. Charismatic Leadership

Dengan kata kunci mengelola pengaruh, maka jenis yang kedua dari gaya kepemimpinan adalah charismatic-style Leadership. Dalam pemahaman jenis gaya ini dilihat bahwa Charismatic leader memiliki sebuah pengaruh emosional, yaitu melibatkan emosi mereka dalam kehidupan pekerjaan sehari-hari, yang membuat mereka terlihat energik, antusias, dan menarik bagi orang lain serta dapat menginspirasi orang-orang dalam organisasi. Penganut gaya kepemimpinan kharismatik ini memang memiliki kharisme tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Sebagai kata yang berasal dari bahasa Yunani, Karisma yang berarti "anugrah". Kekuatan yang tidak bisa dijelaskan secara logika disebut kekuatan karismatik. Karisma dianggap sebagai kombinasi dari pesona dan daya tarik pribadi yang memiliki berkontribusi kuat terhadap kemampuan luar biasa yang dimiliki seseorang untuk membuat orang lain mendukung visi dan juga mempromosikannya dengan sangat bersemangat.

Pada aras dan tataran implementativenya, kata kunci dalam pemahaman gaya kepemimpinan kharismatik adalah unsur emosi. Emosi menjadi aspek yang dikelola oleh seorang pemimpin, baik emosinya sendiri dan utamanya menggarap habis-habisan emosi pengikutnyanya. Dengan lain kata, emosilah yang mempersatukan antara leader dan followersnya sehingga apa saja yang diharapkan oleh pemimpin akan dipenuhi oleh pengikutnya.

Jika dalam transformational leadership pemimpin mencoba untuk meningkatkan kerjasama dan pemberdayaan para pengikutnya, maka dengan gaya  charismatic leadership cenderung akan membangun dan terbangun dan menanamkan dengan sangat kuat, tentang apa yang disebut sebuah kekaguman.

Indikator keberhasilan seorang pemimpin yang biasa menggunakan gaya kharismatik adalah pengikutnya akan muncul kekaguman yang sangat luar biasa terhadap pemimpinnya. Mereka menjadi kagum akan kehebatan yang dimiliki oleh pemimpinnya, dan dengan demikian mereka akan melakukan dan mengikuti apa saja yang akan diminta dan diharapkan oleh si pemimpin.

Ciri dan perilaku yang sering dipertontonkan oleh seorang pemimpin yang menganut gaya karismaik adalah

  1. Menyampaikan sebuah visi yang menarik
  2. Menggunakan bentuk komunikasi yang kuat dan ekspresif saat mencapai visi itu
  3. Mengambil resiko pribadi dan membuat pengorbanan diri untuk mencapai visi itu
  4. Menyampaikan harapan yangt tinggi
  5. Memperlihatkan keyakian akan pengikut
  6. Pembuatan model peran dari perilaku yang konsisten dari visi
  7. Mengelola kesan pengikut akan pemimpin
  8. Membangun identifikasi dengan kelompok atau organisasi
  9. Memberikan kewenangan kepada pengikut.

 3. Coalitional Leadership

Istilah koalisi sangat sering digunakan dalam ranah dinamika politik yang mutiparati di seluruh dunia, sebagai indikator bergabung, berkumpulnya sejumlah kelompok dalam sebuah wadah baru yang disepakati.

Wikipedia Indonesia merumuskan bahwa Koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai sedangkan oposisi koalisi adalah sebuah oposisi yang tersusun dari koalisi beberapa partai.

Terkait dengan tugas seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya, maka dikenal juga Coalitional leadership yang melibatkan proses membangun koalisi orang-orang yang mendukung tujuan pemimpin dan dapat membantu mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan keputusan pemimpin dan mencapai tujuan.

Biasanya dalam implementasinya, mereka-mereka yang terlibat dalam sebuah koalisi tertentu sangat terampil dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain dan dapat mengadaptasikan sikap mereka dengan orang-orang dan situasi yang beraneka ragam. Walapun tidak mudah karena berbagai kepentingan harus dimobilisir dan diakomidir, tetapi itu menjadi tuntutan yang harus terjadi kalau mau koalisi itu sukses.

Dalam praktek kepemimpinan koalisi, beberapa langkah agar coalitional leadership dapat menjadi efektif:

  1. Coalitional leader melakukan banyak interview.
  2. Coalitional leader mengunjungi pelanggan dan stakeholder lainnya.
  3. Coalitional leader mengembangkan "map of stakeholder buy-in".
  4. Coalitional leader melakukan perincian rintangan-rintangan dan mempromosikan cross-silo cooperation.

Richard Daft dalam buku teksnya menyajikan sebuah hasil penelitian tentang pola yang terjadi dalam sebuah kepemimpinan koalisi yang dibangun, yang disebutnya sebagai  Mapping Stakeholder Buy-In, yaitu

  • 10% sebagai advocate (pendukung) merupakan pemangku kepentingan di dalam dan luar organisasi yang akan mendorong perubahan.
  • 10% sebagai partners (mitra) merupakan pihak yang mendukung dan mendorong perubahan tetapi tidak secara aktif.
  • 20% sebagai resisters (pelanggar) merupakan pihak yang menentang bahkan mengganggu perubahan tersebut.
  • 60% sebagai observers (pengamat) merupakan  pihak yang memiliki sikap netral terhadap perubahan yang diajukan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan koalisi itu memang tidak awet, langgeng dan abadi sifatnya dan tentu saja mudah untuk bubar begitu saja. Penyebabnya adalah karena pada dasarnya yang menyatukan, mengikat dan melibatkan semua unsur dan partai atau kelompok dalam koalisi adalah kepentingan masing-masing.

Artinya, sejauh unsur tertentu yakin bahwa kepentingan kelompoknya akan tercapai dalam koalisi maka dia akan bertahan berada dalam koalisi. Tetapi sebaliknya, apabila dia tidak yakin tujuannya tidak tercapai maka dia akan wait and see terhadap koalisi yang terbentuk. Bahkan sangat mungkin akan mengundurkan diri bila peluangnya kecil.

4. Machiavellian-Style Leadership

Niccol Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 - meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527. Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, menghalalkan segala macam cara untuk mewujudkan dan berusaha mencapai tujuan, dan karenanya dalam praktek kepemimpinan, pemimpin yang meniru dan melakukan tindakan seperti ini disebut machiavelis.

Istilah Machiavellian sering dikaitkan dengan perilaku yang tidak bermoral dan bahkan kejam yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan seseorang dari keuntungan pribadi.  Dengan kepemimpinan bergaya Machivellian, pemimpin tersebut bersedia menggunakan cara apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan kesejahteraan organisasi.

Daft mengidentidikasi dan mencatat beberapa ciri utama dari seorang yang menggunakan gaya Machiavellian dalam memimpin dan yang meliputi hal-hal berikut:

1. They are always on guard for risks and threats to their power

Pemimpin bergaya Machiavellian berasumsi bahwa orang pada dasarnya berubah-ubah, serakah, dan penipu, sehingga pemimpin waspada terhadap kesetiaan yang bergeser dan tidak menggunakan manipulasi untuk mencapai tujuan.

2. They don't mind being feared

Pemimpin bergaya Machiavellian mengingatkan bahwa berusaha menjadi pemimpin yang paling disukai bisa menjadi bumerang saat masa sulit yang menuntut tindakan keras.

3. They will use deception if necessary

Pemimpin bergaya Machiavillian tidak memiliki masalah dalam mempertahankan atau menggunakan kekuasaan dengan cara menipu untuk menjamin keamanan organisasi.

4. They use rewards and punishments to shape behaviour

Pemimpin bergaya Machiavellian tidak keberatan mengeksploitasi ketakutan dan keinginan orang agar bisa mengikuti aturan dan melakukan apa yang diperlukan untuk kebaikan secara keseluruhan.

Kata kunci dalam memahami jiwa dan substansi dari Gaya kepemimpinan Machiavelis adalah menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginan pribadi seorang pemimpin. Dengan demikian, dia akan memperlakukan semua pengikutnya dengan cara yang sangat tidak manusia, kejam dan memaksakan dengan segala cara.

Dia mampu melakukan itu karena asumsi yang dibangun tentang pengikutnya, misalnya berasumsi bahwa dengan mengeksploitasi ketakutan dari pengikutnya maka itu memberikan jaminan baginya bahwa apapu yang diperintahkannya akan diikuti dan dilakukan oleh pengikutnya.

Walaupun gaya machiavelis ini tidak lagi ada yang murni dalam implementasi, tetapi semanta dan jiwa menghalalkan segala cara bisa dilakukan dengan cara-cara dalam bentuk lain yang lebih halus, tersamar. Kalaupun ada pemimpin yang menerapkan gaya machiavelis ini, cenderung dalam situasi yang sangat tertutup dari dunia luar.

Saatnya bagi publik untuk menilai dan memahami setiap calon pemimpin yang sedang berkontestasi menjadi pemimpin. Tidak sulit melihat kecenderungan gaya yang dianut oleh seorang calon pemimpin. Apakah termasuk yang transformasional, karismatik, koalisi atau machiavelis. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

Yupiter Gulo, 13 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun