Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Lemahnya Penghayatan Nilai Pancasila dan Meningkatnya Terorisme

1 Juni 2018   10:28 Diperbarui: 4 Juni 2018   17:15 3970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari yang silam, Rabu 30 Mei 2018, saya menghadiri peluncuran buku berjudul:  "Pancasila - Tacit Knowledge Untuk Kehidupan Jaring Pengaman Peradaban Duni" yang disusun sebagai editor  oleh  Jusuf Sutanto, dan dihadiri oleh petinggi dilingkungan kampus Yayasan Trisakti Jakarta, dosen-dosen serta mahasiswa. Selain penyusun bukunya, nara sumber lainnya dalam acara diskusi ini disampaikan oleh Dokter Tonny, PhD yang mencoba memaparkan hasil risetnya tentang neurologi dalam konteks memahami revolusi dalam pikiran manusia.

Materi pembahasan dan diskusi sebetulnya sangat menarik walaupun tidak termasuk ringan. Menarik oleh karena hari-hari belakangan sangat ramai dan intens dibicarakan kembali tentang Pancasila ini, terkait dengan berbagai peristiwa radikalisme dan terorisme yang sungguh menggocang Negeri ini dan semua orang mulai bertanya-tanya "koq bisa terjadi bom bunuh diri ya?"

Tak tanggung-tanggung lagi, pelakunya utuh sebuah keluarga termasuk anak-anaknya. Bahkan mengagetkan pula karena identitas mereka terang benderang disaksikan oleh publik. Pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian inilah yang membuat tema ini menjadi menarik, karena juga menyangkut kepentingan dari bangsa dan negara.

Tema ini tidaklah ringan bahkan tergolong berat. Karena menyangkut pembahasan dan penggalian ualng tentang Pancasila, yang sejak Republik ini berdiri Pancasila dianggap sebagai fondasi, dasar dan sumber-sumber nilai-nilai bagi keutuhan dan keberlangsungan kehidupan masnyarakat Indonesia.

Ya, pasti pembahasan dan diskusinya akan sangat mendalam, ala filsafat hidup dan kehidupan. Dan sangat mungkin semua orang memiliki pandangan yang ingin diungkapkan dengan pengalaman-pengalaman hidup bernegara dan ber-republik di tanah Indinesia merah putih ini.

Bagi saya diskusi ini menjadi menarik karena saya termasuk yang mengalaminya, sebagai mahasiswa pada akhir tahun 1970an menjadi peserta dalam Penaataran P-4 (Pedoman, Penghanyatan dan Pengamalan Pancasila) bahkan juga menjadi Penatar mahasiswa baru bertahun-tahun di lingkungan kampus.

Paling tidak konsep dasar dan pemahaman mendasar masih agak fresh diingat ketika diskusi berlangsung. Saya pikir, bicara Pancasila juga pasti tidak kemana-mana, artinya kembali ke basic-nya. Yang menarik tentu kontekstualnya saat ini di era Information, Technology dan Communition yang berbasis Internet dengan segala turunannya.

Dari semua dinamika percakapan, diskusi ini nampak jelas ingin menegaskan bahwa munculnya radikalisme dan terorisme di Indonesia sejak lebih satu dekade terakhir, atau  setelah reformasi tahun 1998 adalah karena lemahnya penghayatan dan penerapan nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila dan juga Undang-undang Dasar 1945. Artinya pula hingga kini dirasakan tidak ada jalan keluar atau jawaban untuk menangkal, menghalau atau menghadapi radikalisme dan terorisme.

Yang terjadi, malah semakin meninkat, semakin ekstrim, semakin terbuka dan cenderung menghancurkan. Identifikasi situasi ini tidak salah, bisa dirasakan dan dilihat dengan mudah dan kasak mata dengan maraknya media sosial yang tersaji didepan publik diminta atau tidak diminta, termasuk media televisi yang ikut mendorong menjadi cepat dan dekat dengan semua orang di seluruh wilayah Indonesia.

Reformasi Melawan Musuh Orba dan  Musuh Pancasila

Reformasi yang terjadi 1998 membuat Negeri ini berubah dalam banyak hal, walaupun banyak yang menilai bahwa reformasi belumlah cukup menjadi jawaban bagi Indonesia untuk maju lebih cepat menjadi Negara Maju misalnya. Sebab kalau mau merubah Negeri ini secara benar, maka yang dibutuhkan adalah "revolusi".  Revolusi artinya perubahan yang mendasar, menyeluruh dan menjadi sesuatu yang baru. Seperti kepompong berubah menjadi kupu-kupu.

Jadi, dengan hanya reformasi maka sebetulnya persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Indonesia tidaklah menjadi mudah tetapi semakin berat dan bahkan semakin complicated. Diyakini, masih ada unsur-unsur lama yang menjadi "duri dalam daging" untuk membuat Indonesia tidak menjadi cepat lebih maju.

Katakanlah semacam unsur-unsur atau kelompok-kelompok status quo yang sangat kuat menjaga, memelihara, dan bahkan berkembang dengan signifikan dalam bumi Negeri ini. Bahkan segala macam cara mereka lakukan agar "tak diganggu" dan bila perlu "mereka menggangu duluan sebelum mereka diganggu". Potensi unsur-unsur lama masih sangat signfikan sebagai yang mempengaruhi perubahan Indonesia menjadi Negara Maju.

(metromerauke.com)
(metromerauke.com)
Saya melihat salah satu yang mendasar sebagai efek negatif dari Reformasi 1998 bagi Indonesia. Yaitu, pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Presiden Soeharto selama 32 tahun telah dianggap identik dengan Pancasila dengan segala macam program tentang pelestarian Pancasila itu sendiri seperti Penataran P-4. Seakan-akan program Penataran P4 selama ini merupakan jiwa dari seorang yang disebut Soeharto.

Ketika Soeharto dengan Orde Barunya runtuh, maka "Pancasila" seakan-akan dibenci, termasuk program penataran-penataran P-4 yang sudah puluhan tahun dijalankan. Bahkan cenderung difahami sebagai "alat kepentingan tertentu" yang saatnya harus dihindarkan dan kalau perlu dibuang.

Dan sejak saat reformasi itulah seakan-akan upaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila itu terhenti total. Bayangkan, kalau itu terjadi sejak 1998 sampai saat 2018, berarti 20 tahun gap waktu yang hilang. Anak-anak yang lahir sejak tahun 1998 atau sejak 8 tahun sebelum yaitu 1990. Anda bisa hitung berapa banyak generasi yanga tergolong Generasi  Milenieal ini tidak faham dan tahu Pancasila.

Ada data yang menunjukkan jumlah mereka sekitar 30% dari total populasi Indonesia.  Pertanyaan menarik, apa yang terjadi dengan generasi milenial ini yang sekarang usianya berkisar antara 18 tahun hingga 30an tahun. Saya menduga, sangat mungkin mereka termasuk yang ada dalam kelompok radikal dan terorisme ini. Ini butuh kajian mendalam.

Tentu saja sangat sulit bisa diterima dan difahami bila hanya gara-gara seorang Soeharto yang memimpin Indonesia maka Pancasila dengan berbagai upaya pelestariannya harus dihentikan dan kalau bisa dibenci mati-matian. Apa yang salah dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45?. Harusnya tidak ada yang salah, bukan !? Karena keduanya adalah Dasar Negara RI sebagai NKRI yang menampung semua Keragaman, Kamajemukan dan Keberbagian sebagai hakekat objektif yang dimiliki oleh Indonesia.

Saya tentu sangat setuju dengan berkali-kali dalam berbagai acara Prof. Mahfud MD selalu mengingatkan bahwa "tidak mudah mengganti dasar negara Indonesia ini, karena para pendiri bangsa ini sudah meletakkannya dengan benar dan baik". Berbagai pemberontakan dan upaya perebutan kekuasaan sudah dialami bangsa ini, dan itu malah semakin mengokohkan bahwa Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 adalah kokoh adanya.

Seperti yang muncul dalam diskusi peluncuran buku Pancasila diatas, apabila ada cara lain yang lebih efektif harusnya bisa dikerjakan sejak beberapa dekade yang lalu. Dan ternyata tidak ada, kendati ada kelompok-kelompok berbasis kepercayaan tertentu untuk memeperjuangakan menjadi Indonesia dengan dasar yang lain. Lagi-lagi Prof Mahfud MD mengingatkan bahwa itu hanya usaha yang sia-sia belaka. Sikap dan pandangan Prof Mahfud MD harusnya mewakili pandangan kita yang menyayangi bangsa dan negeri ini.

Back to basic Pancasila

Upaya pemerintahan Jokowi untuk kembali ke dasar pembentukan negeri ini, patut kita syukurin karena itulah sesungguhnya jawaban dasar terhadap munculnya radikalisme itu.

Tesisnya mungkin seperti ini,  Semakin tinggi penghayatan dan pengalaman nilai-nilai Pancasila maka semakin mengurangi munculnya radikalisme dan terorisme di Indonesia. Bila hipotesis ini diyakini kebenarannya, maka akan menjadi rujukan utama bagi pengembangan strategi dan program yang akan dikerjakan oleh seluruh elemen kunci dalam Republik ini.

Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila  atau BPIP  dinilai sebagai sebuah keputusan strategis dari Presiden Jokowi - Jk. Bahkan peningkatan status Badan ini yang langsung berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden dinilai upaya mendasar agar Indonesia ini tidak lagi diacak-acak oleh kelompok-kelompok yang memiliki agenda tersembunyi untuk mengganti dasar negera ini.

Walaupun BPIP ini terus menerus diganggu oleh kelompok yang terganggu kepentingannya, tentu itu indikasi yang bagus sebagai alarm bagi semuanya bahwa masih saja ada upaya tertentu untuk menggagalkan tujuan strategi pemerintahan bagi kemajuan bangsa ini.

Dalam setiap kesempatan Presiden Jokowi selalu mengingatkan bahwa bahwa Indonesia itu adalah Pancasila, Undang-udang Dasar, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, semuanya sudah final. Sangat jelas dan tegas dan tidak bisa lagi diterjemahkan lain. Mungkin hanya orang-orang yang agak rendah IQ-nya yang tidak memahami makna kalimat-kalimat dari Presiden itu.

Presiden sebetulnya mau menegaskan bahwa  BPIP berarti back to basic, Indonesia kembali kepada Pancasila. Pancasila menjadi jawaban dasar dan comprehensive untuk mengahdapi radikaslisme, terorisme, pembangkangan, dan lain sebaginya. Artinya pula bahwa, melawan Pancasila berarti melawan NKRI. Memusuhin Pancasila berarti memusuhin NKRI.

Kita semua berharap banyak dan menunggu secara konkrit rencana operasional dari BPIP ini untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negeri ini. Sebagai unit strategis tentu tidak mungkin dia berjalan sendirian saja tetapi harus mengintegrasikan dan mengkoordinasikan dengan semua lembaga dan elemen terkait yang memiliki arena untuk implementasi  program-program yang diinginkan.

Artinya pula bahwa masyarakat tidak mengharapkan BPIP ini hanya sibuk berseminar dan berdiskusi sendirian saja atau terbatas, tetapi bagaimana meneyentuh wilayah masyarakat yang diidentikasi sebagai fokus menangkal radikalisme dan tetorisme ini.

Pancasila dan Lembaga Pendidikan

Suka atau tidak suka salah satu lembaga yang sangat strategis dalam rangka memberikan penanaman nilai dan penghayatan nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 serta Kebhinekaan Indonesia adalah lembaga pendidikan. Atau semua yang terkait langsung dengan proses pendidikan. 

Mari berhitung sedikit, berapa lama seorang anak berada di lembaga pendidikan mulai dari PAUD sampai univeristas?. Jawabannya adalah sekitar 17 tahun sampai 25 tahun, dan bisa lebih lama lagi. Bila rentang waktu ini dianggap sangat memadai maka jawaban pertama  untuk upaya ini ada di lembaga pendidikan.

Apanya, bagaimananya dan strategi serta metode-tekniknya,  tentu ada ruang yang proporsional utnuk membahasakannya. Walaupun dalam diskusi tentang Pancasila dua hari yang lalu, beberapa perguruan tinggi mengusulkan agar ada satu atau bahkan dua mata kuliah atau pelajaran yang harus dilalui oleh mahasiswa, tentu saja itu pilihan-pilihan yang tersedia.

Seorang memberi pendapat bahwa harusnya, dalam era multi media dan media sosial yang sangat marak saat ini, metode yang tersedia untuk lebih efektifnya penguasaan nilai-nilai kebangsaan ini bisa dilakukan dengan mudah, murah, cepat dan sederhana.  Termasuk upaya untuk menyesuaikan dengan tingkat atau level capaian yang dikehendaki untuk penguasaannya.

Sekedar sebagai contoh, hari ini saja tanggal 1 Juni 2018, sebagai hari lahirnya Pancasila, beredar diberbagai media sosial, di group WA, dan sebagainya sebuah tulisan yang meringkas nilai-nilai Pancasila dan UUD 45 itu.  Saya sendiri menerima semuanya dalam semua Group WA yang saya miliki. Ringkasan tulisan itu, saya yakin juga Anda pasti sudah menerimanya, adalah yang diberi judul oleh pembuatnya adalah Butir-Butir Pedoman Pengahayatan dan Pengamalana Pancasila. Butir-butir Pancasila ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa.

Dan bila Anda mencoba menggoogling tentang sumber informasi Pancasila dengan segala macam varian dan turunanya, Anda sangat kaget melihat begitu banyaknya bahan bacaan dan metode penghayatannya. 

Bila tidak ada strategi dan metode yang cocok dan tepat tentu saja tidak ada gunanya, artinya target agar setiap warga negara memiliki pemahaman mendasar yang benar dan dipedomani dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tidak tercapai.  Dan saya pikir, disinilah sebetulnya masalah yang dihadapi saat ini.

Ketika saya menjadi mahasiswa 48 tahun silam, saya harus mengikuti Penataran P-4 sekian puluh jam secara substantive, dan metode sederhana, yaitu ceramah dan tanya jawab, diskusi kelompok, dan pembuatan tugas makalah serta presentasi. Karena dikelola dengan baik, saya masih mengingat beberapa hal yang menjadi pedoman dalam saya berperilaku. Salah satunya adalahtentang Pengendalian Diri. Saya sangat terkesan dengan materi pengendalian diri ini, karena membuat saya mampu menempatan diri dimana saja saya berada.

Demikian juga tentang keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia. Waktu itu saya terkagum dan terkaget-kaget ketika si penceramah menceritakan bahwa Indonesia ini sukunya banyak sekali, bahasa daerahnya ratusan, dan latar belakang kepercayaannya beragam sekali. Saya kaget dan sulit membayangkan bagaimana cara semuanya bisa bersatu menjadi Indonesia. Dan saya tahu jawabannya, yaitu Pancasila, UUD45, Bhinaka Tunggal Ika, dan NKRI. Tanpa ini semua kita bukan Indonesia.

Selamat Hari Jadi Pancasila 1 Juni 2018.

 Yupiter Gulo, 1/6/18

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun