Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Urgensi Enam Tuntutan BEM SI 11 April?

9 April 2022   23:17 Diperbarui: 10 April 2022   15:28 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inilah yang menjadikannya masuk pada ruang perdebatan beserta argumentasi tidak sehat, sebab masuk kepada spekulasi terhadap perasaan Jokowi semata seolah wacana dari tiga Menteri dan tiga ketua parpol adalah maunya Jokowi, sehingga para insan terpelajar dengan intelektualitasnya tidak lagi mengkaji dengan sehat mengenai poin tuntutan ini, ditambah hanya spekulasi yang sudah masuk dalam menyangka-nyangka perasaan Jokowi, seharusnya yang di kaji adalah pernyataan yang Jokowi sampaikan, bukan rasa-rasa yang diperdebatkan. Ditambah soal menganalisa perasaan, pastinya tidak ada alat ukur untuk hal itu, maka harap maklum saja kalau mahasiswa terus menerus menggelar aksi demo, ditambah 11 April nanti.

Seharusnya, para menteri dan ketum parpol tersebut angkat bicara dan jangan sampai membiarkan semua wacana ini ditanggung Jokowi sebagai individu, harusnya para Menteri terebut berkata “… demo kami, bukan ke Jokowi, demo kerumah kami, bukan ke Istana!” begitulah kata Adian Napitupulu melihat fenomena ini.

Ditambah ada poster dilapangan mengenai menurunkan Jokowi atau mundur sebagai presiden, namun sudah dibantah tegas dengan stempel Hoax oleh BEM SI bahwa itu bukan tuntutan mereka. Lalu, tuntutan itu tuntutannya siapa?

Dagelannya seperti; di pemerintah ada yang lempar wacana lalu sembunyi, di rencana demo juga ada yang lempar poster lalu sembunyi, ternyata lempar batu sembunyi tangan bukan hanya terjadi di penguasa, tapi juga dalam aksi jalanan.

Prasangka Abu-abu mengenai pernyataan Presiden Jokowi harusnya dapat kita nilai dari konstitusi yang ada dan bagaimana pula mekanisme perubahannya yang jelas sudah tertuang dalam pasal 37 UUD 1945, dua dari lima ayat itu mengharuskan Amandemen diajukan  minimal 1/3 anggota MPR RI dan minimal disetujui 50% + 1 anggota MPR RI. 

Artinya, dominasi parpol di parlemen menjadi syarat utama untuk meloloskan wacana tersebut untuk di bahas, padahal tidak perlu dikhawatirkan, dari 9 parpol di Senayan, sudah ada 6 parpol yang menolak dan DPD RI di dalam keanggotaan MPR itu sendiri (bersifat bikameral),  juga menolaknya.

Hitung-hitungan secara matematis begini, Kursi DPR RI paling banyak di peroleh  PDI Perjuangan dengan 128 kursi dari total 575 kursi dan partai tersebut sudah sangat tegas menolak penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden. Secara matematis, total kursi dari yang pro wacana tersebut berjumlah 187 kursi saja dari ketiga parpol yaitu PAN, PKB dan Golkar. 

Ditambah, demokrat, Gerindra dan PKS yang sudah jelas menolak wacana tersebut dengan total 182 kursi, belum ditambah Nasdem dan PPP dengan total 78 kursi yang masih samar-samar.

alhasil persentase dari total 575 kursi, pro berjumlah (187 kursi) dengan wacana tersebut hanya sekitar 32,5% saja, kemudian yang sudah tegas menolak berjumlah (309 kursi) sekitar 53,7% dan yang masih belum jelas berjumlah (78 kursi) adalah persentase sisanya sekitar 13,8%.

Perlu dijawab pula spekulasi nantinya, Walau 13,8% masuk pada suara yang mendukung wacana tersebut pun masih belum memenuhi syarat dari amanat pasal 37 UUD 1945, karena yang pro hanya berjumlah 46,3%, jelas masih belum sampai 50%+1 apalagi untuk memenuhi 1/3 anggota MPR RI yang mengharuskan berjumlah minimal 191 anggota juga tidak memenuhi.

Ditambah, amandemen tersebut diwajibkan dilandasi alasan yang jelas, tidak sekedar alasan Ekonomi, Covid dan Polarisasi masyarakat yang selalu menjadi kambing hitam. Tidak ada yang bisa menjamin penundaan tersebut akan  berhasil menuntaskan alasan yang kurang berdasar tersebut. Alasan ekonomi, haruslah di pindahkan harapan tersebut pada regenerasi, alasan covid haruslah berlandas pada penjaminan endemi dan polarisasi adalah hal yang halu, polarisasi pasti terjadi di tahun politik dan tidak ada jaminan pasti jika 2029 nantinya polarisasi tidak terjadi.

Maka kekhawatiran tersebut nampaknya perlu di evaluasi kembali, namun tetap ketat kita semua kawal.

Kedua, mengenai UU IKN nampaknya cukup layak untuk diterima disebabkan UU IKN kurang Public Meaningful Participation, namun kabar baiknya UU tersebut sudah ada yang mengujinya di MK. Kalau mengenai aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, ekonomi dan kebencanaan yang mereka tuntut, haruslah mereka memaparkan secara eksplisit apa saja temuan mereka mengenai aspek yang mereka bawa tersebut, tidak bisa semerta-merta dibawa dalam aksi massa tanpa menyuarakan jelas dampak tersebut yang secara langsung terdampak pada warga dan suku sekitar IKN baru, kita tahu dimana ada pembangunan, pasti ada aspek ekologi yang terdampak, kalau kebencanaan? Banyak-banyak berdoa kepada Tuhan saja. Pemerintah perlu segera sebelum terlambat,  harus lebih transparan mengenai penanganan apa yang akan dilakukan beserta solusinya, sehingga masyarakat tidak menduga-duga dan terjawab semua dugaan yang berkembang.

Ketiga, mengenai kestabilan harga dan ketersediaan bahan pokok juga nampaknya layak diterima, terutama mengenai peran negara dalam menstabilkan harga minyak goreng dan kenaikan serta ketersediaan BBM, yang jelas BBM komoditas juga selain bahan pokok. Indonesia sebagai penghasil minyak goreng terbesar di dunia bisa kalah dengan mafia-mafianya, regulasi dan ketegasan beserta keseriusan menjadi modal utama dalah hal ini, negara tidak boleh kalah, kemudian BBM menjadi tanda tanya besar disaat Minyak mentah dunia sekarang turun diangka dibawah 100 US dollar, tetapi pemerintah tetap saja bertahan diharga sekarang bahkan kita kalah sama Malaysia yang harga BBM nya termurah, terlebih untuk menutupi kerugian pertamina bisa dengan cara subsidi silang dari keuntungan negara saat ini dengan naiknya harga nikel, keuntungan ekspor CPO, hasil perkebunan, tambang batubara dan komoditas lainnya sehingga bisa menurunkan BBM, ditambah PPN dinaikkan menjadi 11% dan transaksi digital dikenakan pajak pula. Terlihat, tidak kurang negara ini jika meningkatkan sector-sektor ekonomi yang menguntungkan guna menyuntikan hasilnya untuk membayar hutang negara kepada pertamina atau menutup kerugian dari proses produksi pertamina itu sendiri.

Keempat mengenai mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menterinya, tuntutan yang mubazir, sebab jika poin ketiga ingin diselesaikan maka sudah pasti wajib point keempat ini dilakukan segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun