Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Urgensi Enam Tuntutan BEM SI 11 April?

9 April 2022   23:17 Diperbarui: 10 April 2022   15:28 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eskalasi aksi demonstrasi mahasiswa sejak 28 Maret, 8 April dan aksi lanjutan pada 11 April yang di pelopori oleh BEM SI,  di rasa pergerakan yang secara moral perlu dipertanyakan. Mengapa?

Ketika BEM SI membuat sebuah Gerakan massa, maka secara kajian, strategi dan aksi berikut seluruh resikonya, tidak hanya mereka yang perlu mengkonsolidasikan Gerakan massa terebut, tetapi harus semua, yaitu mengikut sertakan massa aksi beserta para calon peserta aksi.

Konsolidasi massa harus secara nyata di dahulukan bersamaan dengan pengumpulan ide-ide dari para massa, bentuknya adalah konsolidasi ide. Fungsi dari konsolidasi yang bersumber dari banyaknya ide atau gagasan para massa yang akan tumpah dijalan nantinya menghasilkan simplifikasi poin-poin tuntutan aksi.

Hal ini sudah seharusnya terjadi dahulu disetiap kampus, dengan mimbar bebas lah jalannya, Mimbar bebas di masing-masing kampus menjadi wadah bagi mereka untuk menguji ide atau tuntutan yang akan  mereka bawa kepada khalayak,  agar secara natural calon peserta aksil bersedia maujud dalam aksi massa. Begitu penting pengujian poin-poin tuntutan inilah menjadi dasar dari sebuah Gerakan,  dimulai dari Gerakan-gerakan kecil disetiap kampus, bertujuan lurus guna mengedukasi peserta aksi dan khususnya calon peserta aksi bahkan bakal calon peserta aksi. 

Rakyat kampus nantinya akan menilai, bisa tidaknya tuntutan yang mereka lemparkan itu diterima atau malah bahkan menyulut militansi mereka untuk turun aksi secara murni tanpa ikut-ikutan selfie.

Setelah militansi massa terbangunkan, rakyat kampus pun patutnya perlu dilatih dalam menghadapi resiko-resiko yang terjadi dilapangan guna mengurangi resiko korban aksi dan mengindari para provokasi, termasuk dilatih bagaimana menghadapi saat terjadi bentrokan.

Artinya, dengan tidak melakukan pelatihan pada aksi massa  yang kemudian berubah menjadi massa aksi, sedangkan bagi mereka yang tidak terbiasa melakukan aksi, lalu dibenturkan begitu saja dilapangan dengan segala resikonya. Dimanakah bentuk pertanggung jawaban moral nya Bung?, di negara manapun, mimbar bebas menjadi Gerakan awal, Gerakan mahasiswa. Tetap saja Ketika ada korban menjadi tanggung jawab negara, tetapi Ketika mereka turun tanpa dilatih, makin parah lah yang terjadi.

Apalagi ketika secara tiba-tiba sebuah Gerakan muncul, maka muncul pula pertanyaan, ini Gerakan siapa?, sebelumnya sunyi dan hening-hening saja di kampus.

Dirasa penting aksi kecil yang dimulai disetiap kampus, tidaklah cukup sekali, bahkan bisa dilakukan berkali-kali dengan tujuan mengedukasi, saat mereka keluar dari kampus, tidak hanya komando aksi yang tahu mengenai isi tuntutan, tetapi peserta aksi pun sudah sejelas-jelasnya mengetahui mengenai tuntutan yang mereka teriakkan. 

Agar kita juga teredukasi, berikut enam poin tuntutan aksi 11 april yang bisa jadi rujukan kita menilai, aksi mereka nanti

  1. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi untuk bersikap tegas atau menolak dan memberikan pernyataan sikap terhadap penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode karena sangat jelas mengkhianati konstitusi negara.
  2. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menunda dan mengkaji ulang Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN), termasuk pasal-pasal bermasalah dan dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, politik, ekonomi, dan kebencanaan.
  3. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di pasaran dan menyelesaikan permasalahan ketahanan pangan lainnya.
  4. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi mengusut tuntas para mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait.
  5. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.
  6. Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin berkomitmen penuh menuntaskan janji-janji kampanye pada sisa masa jabatan.


Perlu digaris bawahi, kita semua pasti sepakat bahwa mahasiswa sebagai saluran penyambung lidah rakyat, kita semua juga pasti berharap agar aparat tidak bertindak represif.

Urgensi dari enam poin tuntutan diatas dirasa ada yang layak dan ada yang tidak lagi layak untuk dibawa, mari coba kita perkuat argumetasinya.

Pertama, mengenai wacana Presiden Jokowi 3 periode atau wacana penundaan pemilu, perlu kita ketahui tidak hanya tiga Menteri dan tiga ketua umum parpol yang memulai wacana ini, dimulai oleh Amien Rais sejak tahun kemarin sekitar bulan September, kemudian muncul tanggapan dari PDI perjuangan yang dengan jelas langsung ditolak melalui kadernya yaitu Djarot Syaiful Hidayat, namun wacana tersebut terus bergulir hingga kini, ditambah ada tiga Lembaga survey yang merilis poll dengan hasil, masyarakat setuju wacana tersebut.

Mereka merasa, pernyataan Presiden Jokowi mengenai wacana tersebut masih abu-abu, nyatanya sudah jelas bahwa Presiden akan patuh terhadap konstitusi UUD 1945. Perlu kita pahami kembali, ada tiga pilar pemisah kekuasaan di Indonesia (Trias Politica). Presiden, berada di pilar eksekutif yang berarti presiden hanya menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh UU.

Kemudian, agar wacana tersebut tidak terjadi, harus dipastikan bahwa pilar legislative tidak merivisi Undang-undang khususnya mengenai masa jabatan presiden, kontraproduktif terlihat titik kumpul aksi mereka harusnya berada di Senayan  (DPR RI) bukan di Istana negara, jelas eksekutif tidak bisa berbuat apa-apa kalau bunyi UU berkata bahwa jabatan presiden maksimal hanya 2 periode dengan masing-masing periode 5 tahun, begitu juga Presiden dapat diturunkan jika tetap saja melaksanakan tiga periode, karena bertentangan dengan Undang undang alias melawan hukum.

Presiden sudah jelas mengatakan tidak ada minat tiga periode dan mereka yang mau tiga periode adalah orang yang cari muka Jokowi bahkan sekarang muncul instruksi, Menteri pun dilarang oleh Presiden bicara mengenai perpanjangan masa jabatan.

Inilah yang menjadikannya masuk pada ruang perdebatan beserta argumentasi tidak sehat, sebab masuk kepada spekulasi terhadap perasaan Jokowi semata seolah wacana dari tiga Menteri dan tiga ketua parpol adalah maunya Jokowi, sehingga para insan terpelajar dengan intelektualitasnya tidak lagi mengkaji dengan sehat mengenai poin tuntutan ini, ditambah hanya spekulasi yang sudah masuk dalam menyangka-nyangka perasaan Jokowi, seharusnya yang di kaji adalah pernyataan yang Jokowi sampaikan, bukan rasa-rasa yang diperdebatkan. Ditambah soal menganalisa perasaan, pastinya tidak ada alat ukur untuk hal itu, maka harap maklum saja kalau mahasiswa terus menerus menggelar aksi demo, ditambah 11 April nanti.

Seharusnya, para menteri dan ketum parpol tersebut angkat bicara dan jangan sampai membiarkan semua wacana ini ditanggung Jokowi sebagai individu, harusnya para Menteri terebut berkata “… demo kami, bukan ke Jokowi, demo kerumah kami, bukan ke Istana!” begitulah kata Adian Napitupulu melihat fenomena ini.

Ditambah ada poster dilapangan mengenai menurunkan Jokowi atau mundur sebagai presiden, namun sudah dibantah tegas dengan stempel Hoax oleh BEM SI bahwa itu bukan tuntutan mereka. Lalu, tuntutan itu tuntutannya siapa?

Dagelannya seperti; di pemerintah ada yang lempar wacana lalu sembunyi, di rencana demo juga ada yang lempar poster lalu sembunyi, ternyata lempar batu sembunyi tangan bukan hanya terjadi di penguasa, tapi juga dalam aksi jalanan.

Prasangka Abu-abu mengenai pernyataan Presiden Jokowi harusnya dapat kita nilai dari konstitusi yang ada dan bagaimana pula mekanisme perubahannya yang jelas sudah tertuang dalam pasal 37 UUD 1945, dua dari lima ayat itu mengharuskan Amandemen diajukan  minimal 1/3 anggota MPR RI dan minimal disetujui 50% + 1 anggota MPR RI. 

Artinya, dominasi parpol di parlemen menjadi syarat utama untuk meloloskan wacana tersebut untuk di bahas, padahal tidak perlu dikhawatirkan, dari 9 parpol di Senayan, sudah ada 6 parpol yang menolak dan DPD RI di dalam keanggotaan MPR itu sendiri (bersifat bikameral),  juga menolaknya.

Hitung-hitungan secara matematis begini, Kursi DPR RI paling banyak di peroleh  PDI Perjuangan dengan 128 kursi dari total 575 kursi dan partai tersebut sudah sangat tegas menolak penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden. Secara matematis, total kursi dari yang pro wacana tersebut berjumlah 187 kursi saja dari ketiga parpol yaitu PAN, PKB dan Golkar. 

Ditambah, demokrat, Gerindra dan PKS yang sudah jelas menolak wacana tersebut dengan total 182 kursi, belum ditambah Nasdem dan PPP dengan total 78 kursi yang masih samar-samar.

alhasil persentase dari total 575 kursi, pro berjumlah (187 kursi) dengan wacana tersebut hanya sekitar 32,5% saja, kemudian yang sudah tegas menolak berjumlah (309 kursi) sekitar 53,7% dan yang masih belum jelas berjumlah (78 kursi) adalah persentase sisanya sekitar 13,8%.

Perlu dijawab pula spekulasi nantinya, Walau 13,8% masuk pada suara yang mendukung wacana tersebut pun masih belum memenuhi syarat dari amanat pasal 37 UUD 1945, karena yang pro hanya berjumlah 46,3%, jelas masih belum sampai 50%+1 apalagi untuk memenuhi 1/3 anggota MPR RI yang mengharuskan berjumlah minimal 191 anggota juga tidak memenuhi.

Ditambah, amandemen tersebut diwajibkan dilandasi alasan yang jelas, tidak sekedar alasan Ekonomi, Covid dan Polarisasi masyarakat yang selalu menjadi kambing hitam. Tidak ada yang bisa menjamin penundaan tersebut akan  berhasil menuntaskan alasan yang kurang berdasar tersebut. Alasan ekonomi, haruslah di pindahkan harapan tersebut pada regenerasi, alasan covid haruslah berlandas pada penjaminan endemi dan polarisasi adalah hal yang halu, polarisasi pasti terjadi di tahun politik dan tidak ada jaminan pasti jika 2029 nantinya polarisasi tidak terjadi.

Maka kekhawatiran tersebut nampaknya perlu di evaluasi kembali, namun tetap ketat kita semua kawal.

Kedua, mengenai UU IKN nampaknya cukup layak untuk diterima disebabkan UU IKN kurang Public Meaningful Participation, namun kabar baiknya UU tersebut sudah ada yang mengujinya di MK. Kalau mengenai aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, ekonomi dan kebencanaan yang mereka tuntut, haruslah mereka memaparkan secara eksplisit apa saja temuan mereka mengenai aspek yang mereka bawa tersebut, tidak bisa semerta-merta dibawa dalam aksi massa tanpa menyuarakan jelas dampak tersebut yang secara langsung terdampak pada warga dan suku sekitar IKN baru, kita tahu dimana ada pembangunan, pasti ada aspek ekologi yang terdampak, kalau kebencanaan? Banyak-banyak berdoa kepada Tuhan saja. Pemerintah perlu segera sebelum terlambat,  harus lebih transparan mengenai penanganan apa yang akan dilakukan beserta solusinya, sehingga masyarakat tidak menduga-duga dan terjawab semua dugaan yang berkembang.

Ketiga, mengenai kestabilan harga dan ketersediaan bahan pokok juga nampaknya layak diterima, terutama mengenai peran negara dalam menstabilkan harga minyak goreng dan kenaikan serta ketersediaan BBM, yang jelas BBM komoditas juga selain bahan pokok. Indonesia sebagai penghasil minyak goreng terbesar di dunia bisa kalah dengan mafia-mafianya, regulasi dan ketegasan beserta keseriusan menjadi modal utama dalah hal ini, negara tidak boleh kalah, kemudian BBM menjadi tanda tanya besar disaat Minyak mentah dunia sekarang turun diangka dibawah 100 US dollar, tetapi pemerintah tetap saja bertahan diharga sekarang bahkan kita kalah sama Malaysia yang harga BBM nya termurah, terlebih untuk menutupi kerugian pertamina bisa dengan cara subsidi silang dari keuntungan negara saat ini dengan naiknya harga nikel, keuntungan ekspor CPO, hasil perkebunan, tambang batubara dan komoditas lainnya sehingga bisa menurunkan BBM, ditambah PPN dinaikkan menjadi 11% dan transaksi digital dikenakan pajak pula. Terlihat, tidak kurang negara ini jika meningkatkan sector-sektor ekonomi yang menguntungkan guna menyuntikan hasilnya untuk membayar hutang negara kepada pertamina atau menutup kerugian dari proses produksi pertamina itu sendiri.

Keempat mengenai mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menterinya, tuntutan yang mubazir, sebab jika poin ketiga ingin diselesaikan maka sudah pasti wajib point keempat ini dilakukan segera.

Kelima mengenai konflik agrarian, tuntutan klasik yang sejak dahulu dibawakan, sebagai sebuah tuntutan haruslah kembali di evaluasi kembali, apa eksekusi langsung mengenai peran mahasiswa dalam menyelesaikan konflik ini, ada beberapa pejuang agrarian yang memang totalitas berjuang sampai mendekam dipenjara, contohnya di Riau. Ada juga mereka yang hanya berteriak tidak mau turun kelapangan. Disini yang perlu di revisi adalah Gerakannya, tidak melulu demo membawa tuntutan yang sama, langsung turun dilapangan bersama-sama adalah bentuk solidaritas perjuangan.

Keenam mengenai penuntasan janji presiden, hal ini sangat patut dikawal, berkat pengawalan ini pula secara matematis, janji kampanye presiden Sebagian besar sudah ditepati walau belum semua tuntas, masih ada waktu untuk terus menuntaskan, maka teruslah kawal. 

Bisa lebih konkret lagi, tuntutan janji apa yang harus diselesaikan, misal penanganan korupsi kah? Atau kebijakan yang tak bisa di ukur lainnya?, mengenai korupsi, sulit untuk diukur penuntasan janjinya, dikarenakan tidak ada  yang  secara pasti mengukur mengenai ini sudah belumnya tertuntaskan, 

apakah dari ukuran besar nominal? Atau besar jabatan tersangkanya?, hal ini juga biasanya dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya saja, masih bisa diperdebatkan.

Atau mengenai pelanggaran HAM yang belum usai? Dari presiden sebelumnya pun sepertinya sulit menyelesaikan ini, implikasi dari actor-aktor tersebut yang masih menjabat menjadi faktor utama sehingga muncullah konflik interest didalamnya. 

Coba kita sejenak merenung kembali janji yang sudah dituntaskan, maka tak cukup waktu secara detail untuk  di paparkan dengan dominasi janji yang berhasil di tepati. 

Berkesimpulan bahwa poin tuntutan BEM SI ada yang layak dan tidak layak lagi menjadi poin tuntutan, baiknya point yang memalukan seperti poin pertama di coret saja, karena mencerminkan rendah intelektualitas mereka, terlebih secara urgensi, tidak begitu urgensinya tuntutan mereka lainnya yang harus melibatkan mahasiswa secara nasional dengan begitu masifnya, begitu sia-sia mereka dijalanan, padahal keringat, tenaga dan suara mereka bisa disimpan sementara untuk pengumpulan kekuatan disaat ada hal darurat yang mewajibkan mereka menjadi saluran penyambung lidah rakyat yang tumpah tak terkendali, bahkan depan istana sekalipun.  

Pesannya, saat aksi kejarlah substansi bukan eksistensi, saat aksi kejarlah intelektualitas berdasar bukan pohon-pohon untuk bersandar, saat aksi kejarlah suara murni rakyat bukan menggendong kepentingan korporat dan saat aksi kejarlah panggung kemenangan rakyat bukan panggung komando hanya beteriak beratas namakan RAKYAT!

Sekarang kembali lah ke masing-masing kampus untuk mendiskusikan bersama poin tuntutan yang terbilang urgen dan menguji poin tersebut pada mimbar bebas di setiap kampus, sembari mencari jalan audiensi dengan pemangku kebijakan terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun