Mohon tunggu...
YunitaUmar
YunitaUmar Mohon Tunggu... Buruh - Pengangguran

Anak Kampung

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menunda Kematian Alam di Film "Racing Extinction"

20 November 2019   15:10 Diperbarui: 20 November 2019   18:22 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiu sebagai perburuan liar yang oleh mereka  tidak pernah dipandang kapan hiu akan punah. Selagi masih ada, selagi masih bisa dijual dengan harga yang sangat mahal, hiu dan pari manta tetaplah nomor satu sebagai pundi-pundi harta.

Sampai di sini, saya masih tidak berkedip menatap layar infokus itu. Meski sesekali mengganti posisi kaki agar tetap nyaman duduk lesehan. Durasi film 90 menit itu harus tuntas saya saksikan tanpa kekurangan jeda apa pun.

Karena selang dari perjalanan Louie dari tiga negara tersebut, mereka akhirnya melabuhkan diri ke Indonesia, tepatnya di Desa Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Daerah pesisir dengan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, ternyata pari manta juga dijadikan sebagai tangkapan yang paling utama. 

Nilai jual yang mahal dan profesi utamanya hanya sebagai nelayan, itulah yang menjadi alasan mereka tetap memburu pari manta. Meski mereka sadari, pari manta tidaklah sebanyak yang dahulu kala ketika mereka masih kecil. Pari manta sudah jarang terlihat di laut yang bebas ini.

Hem! Hati saya berubah lebih emosional melihat Louie dan timnya. Saya teringat kampung halaman, teringat bapak yang kerjanya keluar masuk hutan rimba, dan teringat ibu mendaki bukit kecil untuk berladang bersama saya dulu. Film ini bisa kita lihat dari banyak sudut pandang, bisa dari segi ekonomi, kesehatan, sosial, dan politik. 

Hongkong, Tiongkok, dan Amerika, jelas mereka menjadikan hiu sebagai lahan bisnis untuk mengumpulkan pundi-pundi harta. Namun, menjadi sorotan saya adalah bagaimana nelayan kita di Desa Lamakera bertahan hidup dengan bernelayan memburu pari manta yang menjanjikan uang untuk dibawa pulang. 


Mengganjal perut dan melanjutkan sekolah bagi anak-anak mereka. Tidak ada pilihan,  pemerintah harus datang memberi solusi, bagaimana mereka tetap melanjutkan hidup tanpa memburu pari manta lagi. Itu saja.

Seperti halnya, bapak bercerita, hutan rimba yang sudah ditetapkan pemerintah menjadi hutan lindung di kampung halaman tidak lagi menjadi hutan lebat seperti halnya ketika bapak muda dulu. Sudah banyak lahan-lahan pertanian dibuka, pohon-pohon ditebang, dan itu semua dilakukan semata-mata hanya untuk bertahan hidup. 

Laju tumbuh kembangnya masyarakat memerlukan banyak lahan dan kesempatan untuk bekerja. Membutuhkan lahan yang banyak, agar perekonomian tetap lancar dan aman. 

Saya hari ini bisa menyusun skripsi, bisa bersekolah, juga tidak lain karena bapak yang hidupnya tergantung pada alam. Pada gunung-gunung di kampung halaman. Meski gunungnya hari ini tidak lagi membuat kampung saya sedingin dulu, tiga tahun yang lalu saat saya belum pergi merantau ke daerah perkotaan yang sangat panas, Padang.

Film ini berhasil menggunggah emosi penontonnya termasuk saya, film dokumenter yang tidak kalah menguras airmata dengan film The Pursuit of Happyness. Louie dengan mata berkaca berharap agar manusia sadar dan memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada lingkungan. Louie mengutip sebuah petuah, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun