Mohon tunggu...
Yuni Raraswati
Yuni Raraswati Mohon Tunggu... Guru Bahasa Indonesia, SMA Negeri 10 Purworejo

Senantiasa terus belajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan di Ujung Malam

2 Oktober 2025   12:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   12:24 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu pondok telah tenang, hanya terdengar paduan suara serangga malam dan lantunan doa dari kamar santri yang belum terlelap. Fahmi duduk di sudut, menggenggam ponsel ustaz pembimbing. Berkali-kali ia menekan tombol panggil, berkali-kali pula hanya sunyi yang menjawab. Ia tahu, di rumah sana, ibu dan bapaknya telah terlelap, menyerahkan lelah mereka kepada mimpi setelah seharian berjuang mengajar.

Fahmi menunduk. Ada kerinduan yang tak bisa ia ucapkan lewat suara. Maka ia memilih merangkai kata, hati-hati, seakan tiap huruf adalah doa yang harus dititipkan dengan benar.

"Assalamu'alaikum Ibu dan Bapak... mohon maaf Fahmi tak bisa menelpon karena mungkin Ibu dan Bapak sudah beristirahat. InsyaAllah jadwal perkeluaran kali ini sangat Fahmi harapkan untuk menyelesaikan beberapa keperluan, salah satunya mencukur rambut. Semoga Ibu dan Bapak berkenan memfasilitasi rencana baik ini. Namun bila tidak bisa, Fahmi pun memahami, karena Fahmi tahu Ibu dan Bapak sibuk. Fahmi mendoakan semoga Ibu dan Bapak selalu sehat dan dilimpahkan rezekinya. Wassalamu'alaikum."

Ia menatap kembali pesan itu sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berdesir. Ada rasa rindu yang terbungkus dalam kalimat, ada doa yang diam-diam ia sisipkan di antara tanda baca.

Pagi hari, selepas Subuh, embun masih menggantung di pucuk daun jati. Ibu Fahmi membuka ponsel di sela wiridnya. Saat layar menyala, kalimat anaknya menyalakan rasa hangat sekaligus pedih.

Ia membaca pelan, seolah setiap kata adalah bisikan dari jauh: permintaan sederhana tentang mencukur rambut, ditutup dengan doa yang membuat matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah datang, sebab ia tahu semalam ia menunggu panggilan itu, tapi kantuk lebih dulu merenggutnya.

Ia terdiam lama, lalu berkata kepada suaminya, "Betapa halus cara anak itu menyampaikan rindu dan harapnya. Tidak ada desakan, hanya doa yang ia kirimkan."

Sang ayah tersenyum, menepuk pelan punggung istrinya. "Itulah buah dari doa dan didikan kita. InsyaAllah Allah sendiri yang menjaga hatinya. Mari kita carikan jalan. Mas Robby bisa kita minta tolong."

Saat akhirnya kabar dari Mas Robby datang bahwa ia siap berangkat menjenguk Fahmi, lega merambat ke dada sang ibu. Di sekolah, meski tenggelam dalam tumpukan laporan e-kinerja dan tenggat yang kian mendesak, suara anaknya di ujung telepon menjadi pelepas penat.

"Alhamdulillah, Ibu... terima kasih. Fahmi bahagia sekali," ucap Fahmi lirih, namun penuh semangat.

Di antara ribuan kata dalam laporan yang ia ketik, suara itu adalah kalimat paling indah, paling menenteramkan.

Di Sleman, Fahmi dan Mas Robby menepi di sebuah tempat wisata sederhana. Mereka duduk menghadap hamparan sawah, memandang langit yang biru bersih. Dalam hatinya, Fahmi berkata:

"Ibu, Bapak... insyaAllah saya akan belajar lebih giat. Doa kalian adalah bahan bakar langkah-langkah saya. Semoga Allah mempertemukan rindu kita dalam kebaikan yang selalu bertambah."

Sementara itu, di ruang kerja sekolah yang dingin oleh pendingin ruangan, ibunya menutup laptopnya setelah tugas terselesaikan. Senyum kecil terbit di wajahnya, senyum seorang ibu yang yakin bahwa cinta sejati tak pernah berhenti, hanya berganti rupa---kadang berupa telepon tak terjawab, kadang berupa pesan singkat di ujung malam, namun selalu berakar pada doa yang tak putus. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun