Ketika dunia penyiaran Indonesia lahir melalui gelombang radio dan televisi, fungsi utamanya begitu jelas, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Namun, derasnya arus digitalisasi kini telah mengubah wajah penyiaran.
Penyiaran tidak lagi berkaitan dengan siapa yang menyiarkan, tetapi juga bagaimana konten diproduksi, disebarluaskan, serta sejauh mana nilai-nilai etika masih dijadikan pedoman di tengah dunia yang nyaris tanpa batas. Era digital menghadirkan sebuah paradoks besar: di satu sisi memberikan kebebasan berekspresi yang sangat luas, tetapi di sisi lain menimbulkan berbagai persoalan seperti disinformasi, sensasionalisme, dan menurunnya standar etika publik.
Dalam situasi seperti ini, fungsi sosial penyiaran sebagai penjaga kebenaran dan moral publik menghadapi tantangan yang serius. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali relevansi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), agar tetap mampu menjawab tantangan dan dinamika penyiaran di era konvergensi media saat ini.
Etika sebagai Kompas Moral
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, manfaat untuk pembentukan kecerdasan intelektual, watak, moral, dan kekuatan bangsa. Siaran juga diharapkan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan, serta mencerminkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Ketentuan ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan kompas moral yang berfungsi sebagai panduan agar pelaku media tidak terjebak dalam kepentingan ekonomi atau politik semata.
Namun, kenyataan di lapangan kini telah berubah. Batas antara penyiar profesional dan masyarakat biasa semakin kabur. Kehadiran platform seperti YouTube, TikTok, dan podcast memungkinkan siapa pun menjadi "penyiar" dan menyiarkan berbagai konten ke ruang publik. Akibatnya, penyiaran yang dulu berlandaskan tanggung jawab sosial kini bergeser menjadi aktivitas personal yang sering kali berorientasi pada popularitas dan keuntungan.
Ekosistem digital melahirkan wajah baru dunia penyiaran yang tidak lagi tunduk pada pola konvensional. Demokratisasi media memang memperluas partisipasi masyarakat, tetapi sekaligus memunculkan masalah baru: akuntabilitas dan keabsahan informasi. Dalam situasi ini, kecepatan viral sering kali lebih diutamakan dibandingkan prinsip verifikasi dan keberimbangan berita.
Fenomena hoaks, ujaran kebencian, pelanggaran privasi, hingga manipulasi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini menjadi bentuk baru pelanggaran etika penyiaran. Di sisi lain, dorongan komersial melalui sistem monetisasi membuat banyak kreator konten lebih fokus pada klik dan penonton ketimbang nilai edukatif dan tanggung jawab sosial yang seharusnya dijunjung tinggi
.
Kelemahan Regulasi dan Kebutuhan Reformasi