Berapa lama aku mengenalnya,  cukup lama untuk tahu bahwa  dia adalah gadis yang biasa-biasa saja dulunya.  Dia bukan siapa- siapa, tapi kelincahan dan kejenakaan itu masih saja membekas di relung hatiku,  hanya itu saja, tidak ada hal istimewa pada dirinya dan kupikir aku tidak akan menoleh pada gadis seperti dia,  yang semiskin diriku.Â
Orang tua kami punya hubungan bisnis dan bukan bisnis besar. Â Orang tuanya punya restauran dan orang tuaku adalah pemasok segala keperluan untuk restaurannya.Â
Aku kuliah di salah satu jurusan di Fakultas Bahasa dan  Sastra dan dia kuliah di Fakultas Biologi, hal yang mengejutkan,  kupikir dulunya dia tidak sepandai itu.
Kami bersekolah bersama,  mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas,  satu sekolah,  satu kelas serta satu jurusan pula.
Sahabat  ya seorang sahabat.  Sampai akhirnya aku bertemu lagi di sebuah komunitas sekolah, manakala usia senja, lewat dunia maya,  aku terhenyak,  dia bukan wanita biasa. Â
Ketakutan menyelimutiku,  begitu juga dirinya. Aku lebih banyak diam dan dia lebih banyak aktif di komunitas itu.  Hanya sekali dia bicara padaku lewat  telepon. Â
Aku bersikap sangat dingin, Â dia mengatakan aku berbeda. Â Ya aku berbeda karena aku ingin menjaga kami berdua dari sesuatu yang bisa saja melenceng. Â
Aku mengaguminya dan aku tahu dia mengagumiku.  Tetapi batas itu membuat kami harus melepas jembatan penghubung di antara kami.  Dia tidak pernah menghadiri reuni sekolah,  sementara aku sangat aktif sekaligus lebih  banyak berkecimpung dengan bekas teman-teman sekolah di kota asal kami,  dia berbeda kota. Dia menghindariku kupikir, sama seperti aku menghindarinya.Â
Hari itu aku menangis tergugu.  Dua hari yang lalu, dia tidak pernah muncul sama sekali di komunitas maya kami,  biasanya ada saja yang dia katakan dan tulis.Â
Lalu berita itu datang,  seperti sebuah penegasan.  Dia pergi begitu mendadak.  Tidak ada angin dan hujan,  aku belum sempat bertemu muka secara langsung dengannya. Sebuah angan dan keraguan sebenarnya. Asam lambungnya membuatnya sesak nafas hingga tak tertolong. Begitu cepat.Â
Aku seperti terlempar ke rawa yang ada pusaran di bawahnya.  Menarikku hingga tenggelam.  Aku berusaha bangkit,  namun ingatan tentang masa kecil  dan masa sekolah kami,  seperti  film yang diputar terus tanpa henti.  Dia wanita yang memasungku pada rasa kehilangan.  Sesuatu yang baru kusadari sekarang. Kehilangan dan kekosongan yang merenggut sesuatu dalam diriku. Sesuatu hancur di dalam.Â
Selamat jalan sahabat. Mungkin kita hanya bicara sekali dua kali saat menua, mungkin kita adalah teman yang pernah bolos bersama. Aku rasa kehilangan itu begitu parahnya. Merenggutku dalam gelapnya pikiran ini