Di saat suasana mudik Tahun Baru Imlek di China, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata di distrik Tong’an, Xiamen, Fujian, China. Selama masa kuliah, kami selalu disibukkan dengan berbagai tugas dan ujian sehingga nyaris tak ada waktu untuk sekadar berjalan-jalan, menikmati keindahan kota yang dikenal dengan sebutan Tanah Amoy ini. Fujian, tempat kami belajar, juga dikenal sebagai tanah leluhur dari warga Tionghoa di Indonesia.
Kami sangat antusias berpetualang mengisi liburan semester kali ini. Tawa dan obrolan berbahasa Indonesia menjadi penghibur selama perjalanan menuju Tong'an. Maklum, sehari-hari kami lebih aktif berbahasa asing: Inggris dan Mandarin.
Tiga perempat perjalanan, bus yang kami tumpangi berhenti di pool. Si supir, dalam Bahasa Mandarin, meminta kami turun karena akan mengisi bahan bakar.
Kami pun kembali bersenda-gurau dalam Bahasa Indonesia. Terdengar sedikit keras sih, karena saking semangatnya bercerita. Di saat sedang asyik ngobrol, seorang pria paruh baya berperawakan sedang dan bermuka oriental menghampiri kami, para mahasiswa-mahasisiwi Indonesia.
“Kalian orang Indonesia?” sapa pria tua kepada kami.
Kami jawab, “Iya pak".
Heran dan penasaran berkumpul menjadi satu. Maklum, jauh dari Indonesia tapi ada lelaki paruh baya berwajah Tionghoa menyapa kami dengan Bahasa Indonesia terbata-bata. Apalagi, daerah yang kami tuju bukan kota besar.
Kemudian kami bertanya balik, “Bapak dari mana?”
Sang pria yang memakai topi dan jaket hitam itu menjawab dengan dialek salah satu daerah di Indonesia.
“Kita orang pernah lahir di Makassar.”