Mohon tunggu...
Feby Dwi Sutianto
Feby Dwi Sutianto Mohon Tunggu... -

a learner

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berkunjung ke Kampung Bali di China

5 Juli 2017   22:22 Diperbarui: 8 Juli 2017   14:37 32671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Hunian Bertingkat yang Dibangun Pemerintah China

Foto: Suasana Kampung Bali yang Dikelilingi Perbukitan
Foto: Suasana Kampung Bali yang Dikelilingi Perbukitan
"Terakhir acara 2011. Setiap 6 tahun sekali baru ramai. Sudah di sini ngapain pulang. Lihat ada yang menari. Saya sudah dari Shenzhen saja ke sini. Tinggal di sini aja. Setelah itu baru balik," ujarnya kepada kami.

Selain tarian, warga Kampung Bali akan menyajikan berbagai sajian panganan khas bali seperti lawar, tum, hingga nasi kuning.

Di lokasi acara yang berada di lapangan basket, terlihat beberapa pria paruh baya sedang sibuk mempersiapkan dan menghias panggung pertunjukan. Terlihat jelas, sebuah spanduk ucapan selamat datang untuk rombongan PPIT Provinsi Bali.

Meski acara terbilang jarang, The Phik Pa menutar memori masa lalunya. Ia teringat bila pertemuan dan pertunjukan budaya terbesar di Kampung Bali pernah digelar pada tahun 1990an.

"Tahun 1990an perayaan paling meriah, karena ada yang nyanyi lagu Indonesia, terus joged Bali. Itu perayaan paling meriah. Sekarang sudah banyak yang meninggal," ucap The Phik Pa.

Foto: Hunian di Kampung Bali
Foto: Hunian di Kampung Bali
Datang Tahun 1961, Mereka Kerap Ditolak Warga Lokal


Kampung Bali berdiri di Kota Quanzhou sejak 1961. Mereka datang dari berbagai kabupaten di Provinsi Bali. Kepulangan warga keturunan Tionghoa ke tanah leluhurnya di China karena adanya Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 10 Tahun 1959.

Dalam peraturan itu, menyebutkan larangan bagi orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada Warga Negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960. Mayoritas pedagang besar hingga tinggal eceran saat itu dipegang oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa atau warga asli Tiongkok.

Bagi yang tak setuju dengan aturan itu, mereka memilih kembali ke China. Lim Sin Eng mengaku kala itu ia bekerja pada sebuah toko kelontong di Denpasar. Mendapat informasi soal kepulangan ke tanah leluhurnya. Lim Sin Eng yang saat tahun 1961 masih berusia 27 tahun, ikut mendaftar.

Ia dan bersama ribuan warga keturunan Tionghoa dan warga asli Bali yang menikah dengan warga keturunan naik kapal menuju Quanzhou, Fujian.

"Saya waktu itu belum kawin, waktu balik nggak dipungut biaya. Saya naik kapal, cuma nggak boleh bawa barang, termasuk arloji nggak boleh. Itu ada ribuan orang, kapalnya besar sekali. Kita berangkat dari Bali," tuturnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun