Koperasi sejak lama dikenal sebagai tulang punggung ekonomi rakyat. Di berbagai daerah, koperasi hadir bukan hanya sebagai lembaga keuangan sederhana, tetapi juga wadah kebersamaan yang mengikat masyarakat dalam semangat gotong royong. Hal ini pula yang mendorong munculnya program "Koperasi Merah Putih" di Kabupaten Bangkalan, termasuk di Kecamatan Kamal, Madura.
Secara umum, keberadaan koperasi di Kamal sudah mulai terlihat di sejumlah desa seperti Telang, Tanjung Jati, Pendabah, hingga Gili Anyar. Meski belum semua resmi berbadan hukum lengkap, inisiatif masyarakat untuk mendirikan koperasi patut diapresiasi. Dukungan dana desa, simpanan pokok anggota, serta semangat kebersamaan menjadi modal awal yang mendorong roda koperasi berjalan.
Namun, ketika bicara soal tata kelola, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dari sisi organisasi, pengurus biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara hasil musyawarah desa. Sayangnya, peran pengawas sering kali belum berjalan maksimal. Rapat Anggota Tahunan (RAT) pun belum rutin dilakukan, sehingga laporan pertanggungjawaban kerap tidak jelas terdengar hingga ke telinga anggota.
Dari aspek keuangan, sebagian besar koperasi di Kamal masih mengandalkan pencatatan manual di buku kas. Laporan keuangan belum selalu diumumkan secara terbuka, dan audit eksternal nyaris belum tersentuh. Hal ini berisiko menimbulkan salah catat hingga kurangnya transparansi, yang pada akhirnya bisa menurunkan kepercayaan anggota.
Kehidupan anggota koperasi di Kamal juga beragam. Ada petani, nelayan, pedagang kecil, hingga mahasiswa kos yang bertebaran di sekitar kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Komposisi ini sebenarnya sebuah potensi besar. Bayangkan jika koperasi mampu mengembangkan produk inovatif---misalnya tabungan pendidikan untuk mahasiswa, usaha sembako bersama, atau layanan kredit mikro yang dikelola profesional. Koperasi tidak hanya menjadi penyelamat saat warga butuh pinjaman, tetapi juga motor penggerak ekonomi lokal.
Sayangnya, untuk saat ini produk koperasi masih terbatas pada layanan simpan pinjam sederhana dengan bunga ringan. Persoalan kredit macet pun mulai muncul karena belum adanya mekanisme penilaian kelayakan pinjaman. Di sisi lain, kesadaran anggota untuk berpartisipasi aktif juga masih rendah. Banyak yang hanya mendaftar di awal, tetapi kurang hadir dalam rapat atau diskusi lanjutan.
Meski begitu, kita tidak boleh pesimis. Ada sejumlah langkah perbaikan yang bisa ditempuh. Pertama, koperasi perlu segera melengkapi legalitasnya---mulai dari akta pendirian, SK, hingga NPWP dan rekening resmi. Kedua, transparansi keuangan harus diperkuat melalui pembukuan digital sederhana atau setidaknya laporan bulanan yang ditempel di balai desa. Ketiga, RAT harus dijadikan agenda wajib setiap tahun, bukan sekadar formalitas.
Selain itu, koperasi juga perlu berani keluar dari zona nyaman simpan pinjam. Diversifikasi usaha berbasis potensi lokal---seperti pertanian, transportasi desa, hingga usaha kuliner---akan memperkuat keberlanjutan koperasi. Kerja sama dengan kampus UTM, perbankan, dan dinas koperasi setempat juga bisa membuka jalan untuk pendampingan yang lebih profesional.
Pada akhirnya, Koperasi Merah Putih di Kecamatan Kamal berada di persimpangan antara sekadar simbol kebersamaan atau benar-benar menjadi pilar ekonomi desa. Semua tergantung pada keseriusan pengurus, komitmen anggota, dan dukungan pemerintah. Jika tata kelola diperbaiki, koperasi tidak hanya akan bertahan, tetapi juga tumbuh menjadi contoh nyata bagaimana semangat gotong royong bisa mengubah wajah ekonomi rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI