Dengan panjang lebar saya terangkan bahwa kuliah di luar kota tantangannya berat. Harus bertanggung jawab atas diri sendiri, pandai mengatur uang, juga mengatur waktu.
"Di sana tidak ada yang opyak-opyak bangun pagi lho Le, jauh dari Ibuk."
"Iya, Buk," jawabnya sambil tersenyum. Mungkin ia merasa lucu dengan apa yang saya katakan.Â
Dari senyumnya saya tiba-tiba merasa bahwa memang anak saya sudah mulai beranjak dewasa. Dia ingin meraih apa yang menjadi impiannya.Â
Nah, ternyata anak saya yang ketiga ini diterima lewat jalur undangan di sebuah institut di kota Bandung.Â
Allah Maha Baik, tiba-tiba saja sahabat saya semasa SMA yang tinggal di Bandung menawarkan jasa baiknya.Â
Sementara anak saya belum bisa masuk asrama. Selama satu minggu ia boleh tinggal di rumah sahabat saya.
Dalam perjalanan kuliah, sungguh banyak suka duka yang mereka alami. Berkali-kali saya jelaskan pada anak-anak bahwa ibunya bukan orang yang kaya, tapi ibu punya tekad yang besar untuk menyekolahkan anak-anaknya.Â
Kiriman yang saya berikan jumlahnya tak begitu besar. Hanya cukup untuk membayar kos/asrama dan makan.Â
Seandainya bisa, sungguh saya ingin memberi uang yang lebih, tapi menguliahkan dua anak memang tidak kecil biayanya.Â