Tinggal di dekat Save House atau tempat isolasi bagi para penderita covid memang  'sesuatu' rasanya.  Sejak awal pandemi gedung Bandiklat dekat kampung saya berubah fungsi menjadi Save House. Mobil ambulan keluar masuk Bandiklat dengan suara sirinenya  membuat miris.  Lebih-lebih saat kota Malang berada dalam zona merah. Suara itu begitu sering terdengar.
Setelah beberapa bulan di zona merah,  kondisi  berangsur membaik karena sedikit banyak kami sudah mampu beradaptasi dengan pandemi ini. Jalanan mulai ramai,  demikian juga tempat ibadah, pasar dan mall.  Sirine ambulan mulai jarang terdengar. Hal tersebut menimbulkan rasa optimis di hati kami.
Ketika percobaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas(PTMT) dilaksanakan di sekolah-sekolah, harapan semakin merekah. Â Pandemi akan segera berakhir, Â pikir kami saat itu.
Namun ternyata diam-diam virus ini bermutasi,  diiringi pula dengan pelaksanaan prokes yang mulai kendor dan kumpul- kumpul mulai banyak dilakukan.  Entah yang namanya reuni,  kumpul keluarga atau silaturahmi.  Meski sudah ada larangan mudik dan kumpul-kumpul, namun masih  banyak yang melakukannya. Ya, sudah setahun kami menahan diri untuk tidak melakukan itu semua.
Dan akhirnya terjadilah apa yang  ditakutkan.  Virus yang baru ternyata jauh lebih ganas dan cepat menular.  Serangan wabah gelombang kedua timbul.  Jumlah penderita terus bertambah dan bertambah, sampai-sampai rumah sakit menjadi penuh karenanya.
Cemas?  Jelas,  meski berita hoax yang tidak percaya corona masih ada, kenyataannya korban terus berjatuhan. Bendera PPKM  di tiap RT yang biasanya semua hijau , beberapa mulai  berubah menjadi kuning.  Pertanda ada keluarga yang kena.  Rasa takut kian mendera.
Pak RT Â tak henti- hentinya woro-woro di grup whatsapp kampung.
"Ayo tetap patuhi prokes."
"Ayo pertahankan bendera kita supaya tetap hijau."
Namun kemarin berita kembali masuk di grup whatsapp . Satu keluarga  lagi harus isoman.Â