Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ketika Saya Menghajar Ninja

21 Februari 2021   14:42 Diperbarui: 21 Februari 2021   14:49 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : AliExpress

Tahun 1998 adalah tahun sulit yang pernah saya alami.  Akibat gonjang-ganjing politik di pusat pemerintahan sesudah turunnya Pak Harto  menimpa daerah-daerah termasuk kampung saya.  Suasana yang tidak pasti membuat harga-harga barang kebutuhan pokok naik drastis. Beras naik,  gula,  minyak,  susu apalagi. 

Saya ingat saat itu beras begitu mahal.  Untuk makan sehari-hari saya membeli beras paling murah yang warnanya agak kuning dan kadang berkerikil. Padahal beras seperti itu dalam kondisi normal tidak begitu dilirik. Tapi saat itu yang bisa saya jangkau adalah beras dengan kualitas yang paling rendah tersebut.

Bagi yang punya uang kondisi itu dipakai sebagai kesempatan untuk menimbun barang dan menjualnya dengan harga sedikit di bawah normal.  Tiba-tiba saja banyak orang yang berjualan dadakan di pinggir jalan saat itu.  Dengan sebuah meja kecil mereka berjualan minyak,  gula juga beras.  Dengan label "jual beras murah" atau "jual gula murah", mereka  bisa langsung menarik perhatian meski selisih harga cuma limaratus atau seribu rupiah per kilonya.

Kondisi yang sulit diperumit dengan isu adanya ninja yang berkeliaran. Isu ninja sangat viral di Jawa Timur saat itu. Kabarnya ninja ini mempunyai misi untuk menghabiskan para dukun santet,  tapi akhirnya banyak yang terbunuh bukan dari kalangan dukun santet. Sosok ninja digambarkan sebagai orang yang sakti, memakai baju serba hitam dan datang ke kampung-kampung untuk melakukan teror. Rumah calon korban katanya sehari sebelumnya diberi tanda silang, baru besoknya korban akan dihabisi.

Entah benar atau tidak yang jelas  berita dari mulut ke mulut tentang kesaktian ninja ini sangat santer.  Ninja bisa menghilang dengan naik tiang listrik,  melompat dari pohon ke pohon,  atau hilang mengikuti aliran air sungai.  Tidak masuk akal bukan?  Tapi begitulah, kondisi ekonomi yang kacau dan pemberitaan yang gencar membuat kami jadi tercekam. Saat datang ke kampung yang berbeda RT saja kami bisa dicurigai.  Jika dicurigai sebagai ninja bisa- bisa habis digebugi orang kampung.

Koran tidak henti hentinya memberitakan di kota A orang yang dicurigai ninja dihajar orang kampung,  atau di kota B  ada ninja yang dikejar penduduk dan menghilang di daerah aliran sungai dan berbagai berita provokatif yang lain.

Sampai-sampai saat itu ada peraturan tidak boleh bertamu selepas maghrib. Jika terpaksa bertamu harus membawa KTP.  Jadi praktis di atas maghrib lampu teras dan ruang tamu pasti dimatikan warga.  Kondisi jadi gelap dan mencekam.

Saya mempunyai sepupu yang usilnya luar biasa. Sebutlah namanya Mamat. Kami sangat akrab sejak kecil,  karena di samping bertetangga juga masih saudara. Hampir tiap hari Mamat bertandang ke rumah saya untuk mengajak anak saya yang besar bermain. Si Mamat sering menggoda saya karena melihat rasa cemas saya saat bercerita masalah ninja.  Dia selalu menertawakan atau bahkan suka mengagetkan saya dengan ulahnya yang konyol. 

Malam itu seperti biasa selepas maghrib lampu teras dan ruang tamu saya matikan.  Suami saya belum pulang dari masjid. Anak-anak segera saya ajak untuk masuk kamar. Suasana yang sepi membuat kedua anak saya cepat tertidur.  Tepatnya sesudah sholat Isyak saya mendengar pintu depan diketuk pelan.  Tok.. Tok.. Tok...

Kok pelan ya?  Pikir saya.  Biasanya suami saya tidak seperti itu kalau mengetuk pintu.

Sekali lagi terdengar ketukan, Tok.. Tok.. Tok...  . Dengan masih mengenakan mukena pelan-pelan saya menuju ruang tamu yang gelap.

Tok.. Tok..  Tok...  terdengar lagi.

Saya mengintip dari balik tirai pintu.  Samar ada bayangan orang di teras.  Barangkali suami saya,  pikir saya.  Pintu saya buka pelan-pelan. 

Tiba-tiba.. Byus..!!Sesosok manusia dengan berkemul sarung berdiri di depan saya.  Saya terkejut luar biasa. Ninja! Refleks saya pukuli kepalanya.  "Astaghfirullah.... !" teriak saya.  Bak.. Buk.. Bak... Buk... Semua jurus pukulan yang saya tahu saya keluarkan semua sekuat-kuatnya.  Meski saya berdaster dan dia berninja saya tidak takut,  yang penting jangan sampai masuk rumah mengganggu anak saya, pikir saya.

"Rasakan! " saya pukuli sekuat-kuatnya.  Padahal tangan saya sangat gemetar saat itu.

"Ampuuun.. Ampuuun, wis... mandheg... Mandheg.., "

Astaga,  saya langsung menghentikan pukulan saya.  Seperti kenal suara itu.

"Buka! " kata saya dengan tetap mengepalkan tangan dengan napas terengah-engah.  Sang Ninja membuka sarung yang menutupi wajahnya. 

"Mamat..! " teriak saya tertahan.

Mamat menunduk lemas. Wajahnya sangat kuyu.  Kok bisa seh... Segera saya seret Mamat masuk rumah.  Jangan sampai ada tetangga keluar dan melihat apa yang sedang terjadi. 

Dengan wajah memelas Mamat meringis menahan sakit. Kasihan sekali.  Saya sungguh menyesal. Duh,  Mamat... Mamat.. Untung saat itu saya tidak menggunakan pentungan.  Padahal saat itu saya selalu siap pentungan di bawah tempat tidur saya.

Catatan : mandheg : berhenti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun