Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada DKI Jakarta, Penistaan Agama, dan Munculnya Politik Identitas

17 April 2018   20:42 Diperbarui: 17 April 2018   20:44 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menurut Ahok, ayat tersebut telah digunakan oleh oknum elit politik tertentu untuk menyebarkan isu SARA, dan menurut Ahok hal ini merupakan perwujudan dari sikap pengecut karena elit-elit politik tersebut dianggap Ahok telah melakukan kebohongan kepada rakyat demi kepentingan politik.

Hal inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Ahok ketika ia menyinggung masalah surat Al-Maidah 51 dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu. Namun karena karakter Ahok yang low-context, bahasa yang ia keluarkan menjadi sangat vulgar dan menyakiti hati sebagian umat Islam di Indonesia.

Budaya Masyarakat Indonesia

Menurut Stella Ting-Toomey (1998), kultur masyarakat Indonesia adalah kultur kolektivistik, dan kecenderungan masyarakat yang kolektivis lebih banyak menggunakan gaya bahasa dengan ciri high-context. Pola komunikasi high-context cenderung memiliki pola pendekatan spiral, tidak langsung menyampaikan maksud, kerap menggunakan interaksi-interaksi non-verbal untuk memperkuat maksudnya, dan receiver-oriented.

Receiver-oriented cenderung berasumsi bahwa lawan bicara atau receiver sudah memahami maksud pembicaraan tanpa harus diungkapkan secara gamblang oleh pihak sender.

Walaupun Ahok juga merupakan warga negara Indonesia, namun ia adalah tipikal individualis dengan gaya komunikasi low-context. Kultur individulistik dapat ditemukan dalam masyarakat Amerika Serikat, Australia, Inggris dan sebagian besar negara-negara Barat (Ting-Toomey, 1998). 

Maka tidak mengherankan ketika Ahok diputuskan oleh pengadilan bersalah atas kasus penistaan agama dan mendapatkan vonis 2 tahun penjara, negara-negara besar seperti New York, Belanda, dan Jerman menunjukkan keprihatinannya. Mereka menginginkan sosok pemimpin seperti Ahok dan berharap agar Ahok segera dibebaskan. Dan jika rakyat Indonesia mengijinkan, mereka menyatakan siap 'membawa' Ahok untuk bergabung di pemerintahan negara-negara tersebut (jurnalsumut.com, 2017).

Walaupun Ahok memiliki kinerja yang sangat baik, namun gaya komunikasinya yang low-context berpotensi menimbulkan konflik dalam kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas memiliki kultur high-context.

Kita bisa melihat contoh lainnya dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama, ketika Jaksa menghadirkan saksi Ketua MUI, KH. Ma'ruf Amin, yang juga berposisi sebagai Rais 'Aam NU, Ahok berbicara dengan gaya bahasa yang menurut msayarakat Indonesia tidak sopan kepada seorang tokoh agama seperti KH. Ma'ruf Amin.

Warga NU yang sejak awal bersikap netral, bahkan bisa dikatakan cenderung membela Ahok pun akhirnya bereaksi keras kepada Ahok. Mereka merasa tersakiti karena Ahok dianggap sudah bersikap tidak sopan kepada pemimpin tertinggi organisasi mereka.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sendiri kerap menegur Ahok karena gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dan Ahok pun mengakui kalau memang gaya bicaranya apa adanya. "Kalau kata Bu Mega, saya disuruh pakai selotip ajaib. Beli di pasar deket Glodok. Kalau ngomong ngaco, ibu pasti telepon. Lalu ngomong seperti orang tua, 'selotip ajaibnya lepas ya?'," cerita Ahok kepada awak media (detik.com, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun