Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Asyiknya Pilih Jurusan Bersama Teman!

24 Februari 2013   15:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:46 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar satu bulan lalu, saya mendapatkan e-mail dari seorang siswi SMA kelas XI. Intinya, ia bercerita mengenai program penjurusan dan penentuan potensi di sekolahnya. Ketika menjalani program penjurusan, ia dinilai memiliki bakat di bidang IPS tapi minat di bidang IPA. Setelah melewati beberapa pembahasan dengan guru, akhirnya ia diputuskan masuk ke dalam kelas IPS. Berdasarkan penjurusan tersebut, ia tertarik untuk mengambil jurusan kuliah di bidang psikologi.

[caption id="attachment_238381" align="aligncenter" width="234" caption="sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/-I1h9D8R94TM/Tbe4JAbDt0I/AAAAAAAAABI/-e6EkfUgZbU/s1600/17-234x300.jpg"][/caption]

Penjurusan dan penentuan pilihan studi di perguruan tinggi sering terlihat kompleks karena melibatkan keinginan siswa, keinginan orang tua, dan rekomendasi pihak sekolah. Tak jarang keinginan anak akhirnya dipinggirkan karena dinilai tidak ‘cerah’ untuk dunia kerja dan alasan pragmatis lainnya. Padahal, keberhasilan identifikasi jurusan di perguruan tinggi justru ketika siswa benar-benar dilibatkan dalam pembuatan keputusan (siswa sebagai subjek, bukan objek).

Salah satu metode yang cukup efektif untuk mengetahui potensi siswa adalah dengan melibatkan hubungan pertemanan sebaya (peer groups). Pada usia remaja SMA (16-18 tahun), teman sebaya cenderung memiliki pengaruh lebih besar daripada orang tua. Lalu kenapa peran tersebut tidak kita manfaatkan untuk membantu siswa SMA dalam menentukan jurusan di perguruan tinggi? Metode seperti ini pernah saya lakukan di sebuah SMA di Yogyakarta. Setelah melakukan identifikasi masalah, saya dan tim memberikan pelatihan pada siswa kelas X. Mengapa dipilih siswa kelas X? Sederhana, semakin cepat potensi itu disadari, maka ia bisa dikembangkan dengan lebih baik.

Pelatihan yang bernama Peer Groups for Exploring Potentiality on Teenagers (Pro-Exit) ini berdasarkan konsep Joe-Harry Window. Konsep ini menjelaskan bahwa ada empat ‘jendela’ pada diri manusia yang bisa dibuka dengan komunikasi antara diri sendiri dan orang lain. Keempat jendela tersebut dianalogikan berisi potensi manusia. Kita membutuhkan bantuan orang lain dan tools (seperti psikotes) untuk mengungkapnya.

[caption id="attachment_238382" align="aligncenter" width="250" caption="sumber gambar: http://www.google.co.id/imgres?um=1&hl=id&biw=1280&bih=680&tbm=isch&tbnid=itXngyzChg7GmM:&imgrefurl=http://en.wikipedia.org/wiki/Johari_window&docid=7L6IhftLa-r1mM&imgurl=http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/2c/Johari_Window.PNG/250px-Johari_Window.PNG&w=250&h=199&ei=VisqUfGoOsKmrAep3oGoCg&zoom=1&ved=1t:3588,i:78&iact=rc&dur=2570&sig=112671804977796720464&page=1&tbnh=159&tbnw=200&start=0&ndsp=18&tx=85&ty=53"]

13617183552070500046
13617183552070500046
[/caption]

Pelatihan Pro-Exit ini dibagi dalam enam pertemuan. Lima pertemuan berisi teknik-teknik mengungkap potensi diri dan satu pertemuan sesi bimbingan dengan psikolog. Tujuan utama pelatihan ini agar siswa mampu menentukan pilihan jurusan di perguruan tinggi berdasarkan potensi dan minat yang mereka miliki. Siswa diharapkan mampu mengungkap dan mengenali keunikannya, sehingga mereka tak lagi tergantung pada guru/orang tua untuk mengungkap potensi dirinya. Supaya praktis, saya akan sampaikan teknik umum yang bisa dilakukan oleh pendidik maupun siswa SMA.

Teknik pertama dinamakan You and Me. Keterampilan paling dasar yang ingin diasah adalah kemampuan mendengarkan. Meski sederhana, keterampilan mendengarkan ini sangat sulit dilakukan oleh siswa SMA (bahkan bagi kebanyakan orang). Mereka cenderung ingin jadi pihak yang diperhatikan dan didengarkan. Caranya, siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Salah satu dari mereka diminta untuk bercerita dan siswa lain diminta untuk aktif memberikan tanggapan. Diskusi ini dilakukan berulang-ulang sebagai pembiasaan.

Setelah siswa dinilai mampu menjadi pendengar yang baik, mereka diminta untuk melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri (teknik Me, Myself, and I). Penilaian mencakup kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Sumber penilaian berasal dari diri sendiri dan teman sebaya. Hasil dari kedua sumber tersebut akan dibandingkan. Bagian ini biasanya cukup seru karena banyak kelebihan yang dituliskan oleh orang lain tapi tidak disadari oleh diri kita sendiri. Tak jarang ada siswa yang berkata,”oh, ternyata aku seperti ini ya?” atau “baru sadar, ternyata aku mahir di bidang ini ya”.

Teknik ketiga bernama explore your talent. Teknik ini menggunakan tools (psikotes) sebagai instrument pengungkap potensi dan minat siswa. Jika tak ada materi psikotes, Anda bisa melanjutkan ke teknik what can I do. Peran fasilitatorcukup besar dalam teknik ini. Mereka bertugas untuk memberikan gambaran mengenai apa yang bisa dilakukan oleh siswa berdasarkan kelebihan mereka (hasil dari teknik 1 dan teknik 2). Salah satu penyebab kenapa siswa ragu dengan pilihan studi di perguruan tinggi karena mereka tak tahu akan melakukan apa dengan keterampilan tersebut. Untuk jurusan yang populer seperti kedokteran, kemungkinan besar siswa sudah paham. Tapi untuk jurusan-jurusan yang tak terlalu populer seperti misalnya arkeologi atau ilmu budaya, siswa harus diberikan penjelasan mengenai apa yang bisa mereka lakukan di jurusan tersebut. Bisa saja ada siswa yang tertarik ilmu sastra, tapi akhirnya mengurungkan niatnya karena merasa jurusan itu tak berprospek dalam dunia kerja. Ia kemudian terpaksa ambil jurusan lain yang lebih menjanjikan secara pekerjaan. Bisa jadi ia akan tetap bekerja. Tapi antara bekerja karena kewajiban dan bekerja karena passion, tentu hasilnya berbeda. Masalah passion seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam penentuan jurusan.

Teknik terakhir adalah sayounara impossible. Dalam teknik ini, siswa dilatih untuk membuat goal setting  (target) pribadi dalam rentang waktu 3-5 tahun ke depan. Jadi mereka tidak hanya berpikir jangka pendek untuk menentukan jurusan, tapi juga sudah berpikir mengenai profesi apa yang akan mereka tekuni.Tak hanya itu, mereka juga diminta untuk membuat semacam komitmen bersama peer groupnya dalam mewujudkan target tersebut.

Beberapa teknik yang saya paparkan dalam tulisan ini memang tidak instan. Kalau kita berbicara idealita, siswa kelas kelas XII seharusnya sudah tidak pusing lagi soal penentuan jurusan di perguruan tinggi. Fokus mereka adalah menghadapi Ujian Nasional. Jadi, sebaiknya ada sinergi di antara pendidik, siswa, dan orangtua untuk menggali potensi siswa (untuk penentuan jurusan kuliah) sejak kelas X. Yakinlah, jika siswa sudah mendapatkan gambaran mengenai potensi dirinya, usaha-usaha pencarian informasi yang mereka lakukan akan semakin fokus dan terarah. Saya berikan gambaran: siswa kelas XII yang masih bingung dengan potensinya, barangkali akan cenderung googling dengan kata kunci “jurusan kuliah yang menjanjikan”. Tapi untuk siswa kelas XII yang sudah paham potensi dirinya, akan googling dengan kata kunci yang spesifik ke jurusan tertentu (misal: fakultas psikologi Universitas Indonesia).

Selamat bersinergi demi masa depan yang lebih baik!

@yudikurniawan27

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun