Ibu saya adalah seorang bidan yang sudah mengabdikan diri dalam dunia persalinan semenjak tahun 1977 hingga saat ini. Entah berapa ratus ibu yang sudah dibantu bersalin dan berapa banyak bayi yang sudah digendong oleh ibu saya. Saat ini, ibu tak lagi turun langsung membantu persalinan. Sejak terkena stroke pada tahun 2004, ibu lebih banyak membantu program pengembangan kesehatan ibu dan anak. Mungkin karena masa pengabdian dan dedikasi terhadap profesi, ibu saya dua kali terpilih menjadi ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) untuk wilayah Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Punya ibu seorang bidan, buat saya adalah sesuatu yang luar biasa. Seringkali, ketika kami sekeluarga hendak bepergian, ibu tiba-tiba harus ke rumah pasien yang akan melahirkan. Jadilah, jalan-jalan keluarga pun ditunda. Dulu, medio dekade 1990-an, dokter di kota saya (Rengat) amat langka. Oleh masyarakat awam, bidang sering dianggap memiliki kemampuan setara dokter. Ketika sudah ada dokter PTT (dulu ada istilah dokter PTT, Pegawai Tidak Tetap) yang mengabdi, tetap saja ibu saya yang jadi tujuan utama berobat warga sekitar. Mereka benar-benar tak percaya dengan dokter baru. Sampai sang dokter mengeluh ke ibu saya, kenapa tak ada pasien yang mau berobat pada dia. Ibu saya akhirnya meminta pasien dengan penyakit khusus untuk berobat ke dokter. Agak susah memang, tetapi akhirnya mereka bisa percaya pada dokter.
Soal dibangunkan tengah malam, itu seperti jadi makanan ibu sehari-hari. Setiap sore, ibu membuka praktik pelayanan kebidanan di rumah. Tetapi tak jarang ada pasien yang minta bantuan persalinan di malam hari, bahkan dini hari. Jangan dibayangkan perjalanan ke rumah pasien adalah hal yang mudah. Tinggal masuk ke mobil, kemudian sampai di rumah pasien. Sama sekali tidak. Pernah ibu saya harus menggunakan sampan (perahu kecil) agar bisa mencapai rumah si pasien yang lokasinya di seberang sungai. Fasilitas jembatan di sungai Indragiri (sungai di dekat tempat tinggal saya) baru ada sekitar awal tahun 2000-an.
Waktu saya masih SD dan SMP, sering ibu baru pulang jam 6 pagi. Padahal jam 8 pagi sudah harus bertugas kembali di Rumah Sakit Daerah. Luar biasanya, sepagi apa pun ibu pulang, beliau tak pernah lupa menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Kecuali jika ibu sudah teramat lelah, ayah yang menyiapkan sarapan buat ibu dan anak-anaknya. Kadang ibu tak peduli dengan kondisi fisiknya. Jika ada pasien yang benar-benar membutuhkan pertolongan segera, sementara ibu juga sakit, biasanya ibu tetap menolong semampunya. Setiap kali mengingat hal ini, selalu saja ada air yang menetes dari mata saya.
Saking banyaknya bayi yang kelahirannya dibantu oleh ibu, rasanya separuh teman sekelas saya sewaktu SD ketika lahir dibantu oleh ibu. Kalau saya bertemu dengan ibunya teman saya, tinggal bilang saja,”Saya Yudi, anaknya ibu Yulita (nama ibu saya)”. Selagi masih di daerah Rengat dan sekitarnya, hampir semua ibu mengenal nama bidan Yulita.
Ibu pernah cerita, beberapa dari ibu yang dibantunya bersalin sering menamakan anaknya dengan unsur dari nama ibu saya. Entah apa maksudnya, barangkali untuk menghargai ya. Nah, kisah yang paling saya ingat adalah soal bayi yang diberikan nama Krismonita. Sepintas sih nama itu biasa saja. Tetapi kalau saya sebutkan maknanya, hmm… Bayi perempuan itu diberi nama Krismonita karena: ia lahir di awal tahun 1999 (zaman Indonesia masih Krisis Moneter) dan proses kelahirannya dibantu oleh bidan bernama Yulita. Perpaduan Krisis Moneter (disingkat Krismon) dan Yulita, jadilah Krismonita. Saya suka senyum-senyum sendiri kalau mengingat hal ini.
[caption id="attachment_222262" align="alignleft" width="300" caption="Ayah dan Ibu (dokumentasi pribadi)"][/caption] Satu hal yang paling saya kagumi dari ibu adalah profesionalitasnya terhadap pekerjaan. Demi pasien yang membutuhkan, jalan bersama keluarga pun sering ditunda. Saya bersyukur karena ayah juga seratus persen mendukung profesi ibu. Beberapa kali ibu telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Saya tak sempat menyaksikan karena saat itu sudah kuliah di Yogyakarta. Saat ini, ibu lebih fokus untuk membagikan ilmunya pada bidan muda dengan mengajar di akademi kebidanan, selain fokus bermain dengan cucu, tentunya.
Menjadi anak seorang bidan, rasanya sungguh menakjubkan!
Selamat hari ibu untuk ibu di seluruh dunia
@yudikurniawan27
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI