Situasi tersebut jelas memperlihatkan premis Firman Kurniawan, dalam Digital Dilemma, 2020, bahwa realitas kehidupan digital membawa dua sisi baik-buruk secara bersamaan, menciptakan ruang yang menyulitkan tapi harus dilewati.
Lebih jauh, hal serupa juga dinyatakan Agus Sudibyo, pada Jagat Digital, 2020, yang menyebut kehadiran ruang digital menjadi sarana pembebasan sekaligus menciptakan terjadinya penguasaan.
Teknologi yang menjadi motor dari kehidupan digital tidak bebas nilai dan tidak pula bebas kepentingan. Era digital adalah manifestasi dari tahap perkembangan serta modernisasi corak ekonomi kapitalisme.
Jagat digital adalah imajinasi wilayah nir-batas, yang memungkinkan hal positif tercampur berbagai pengotornya. Terdapat motif ekonomi yang dominan tanpa disadari.
Kondisi tersebut juga menandakan kecerdasan tidak lagi hadir sejalan dan bersama dengan kearifan. Sangat mungkin timpang dan pincang.
Kejahatan digital sebagaimana dikemukakan di awal, adalah indikasi sederhana yang mungkin dapat dipergunakan pada level mikro-individual, sebagaimana pencurian data pribadi dan penipuan di ranah online.
Kita masih memiliki celah persoalan di tingkat makro dalam kehidupan sosial yang juga perlu dicermati sebagai lokasi yang rentan dan memiliki kerapuhan dari keberadaan abad digital ini.
Hidup yang Terlipat
Adopsi digital membuat kita harus beradaptasi. Konstruksi sosial dari penggunaan teknologi digital terjadi, sebagaimana Yasraf Piliang melalui Dunia yang Dilipat, 2020 menyebut bahwa fenomena kecepatan dan percepatan teknologi seakan melihat ruang dan waktu dalam sekejap.
Hal tersebut berimbas pada terbentuknya berbagai lipatan dalam kehidupan, rentang waktu dan ruang semakin pendek, terjadi penumpukan, segala sesuatu kemudian bersifat memadat, dan ketergesaan adalah ciri penanda hidup digital.
Tantangan dalam konteks makro kehidupan sosial yang diformulasikan melalui bentuk negara juga berhadapan dengan ancaman digital, meski dalam spektrum yang berbeda.