Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kembalinya Kuasa Media Mainstream

12 Juni 2019   07:26 Diperbarui: 15 Juni 2019   00:52 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosial media kerap disebut sebagai media baru, pembunuh media tradisional. Bahkan, dalam analisis yang menarik, Ross Tapsell, melakukan penelitian tentang Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital.

Salah satu studi kasus yang diangkat dalam kajian Tapsell adalah tentang perubahan medium, pergeseran konten, serta pertarungan pengaruh media mainstream dan new media, di dalamnya sosial media menjadi bagian dari revolusi digital di tanah air.

Menurut Tapsell, pertarungan politik akan melibatkan dukungan serta keberpihakan media. Terlebih, karena di Indonesia, pemilik media juga adalah aktor politik, bahkan mempunyai partai politik. Maka tidak mengherankan, bila media masuk secara mendalam pada sebuah kontestasi politik.

Kemenangan Jokowi pada 2014, membuat premis lama tentang efek pengaruh persuasi media tradisional terbantahkan. Figur Jokowi adalah anomali, sebuah kecelakaan elektoral, dalam konteks peran media mainstream dalam menciptakan opini publik. Hal tersebut terkait peta kontestasi.

Pemilu 2014, menghadirkan Jokowi dan Prabowo sebagai kontestan Pilpres. Format koalisi pendukung terbentuk diantara kedua kandidat tersebut. Salah satu yang mencolok adalah konsentrasi dukungan secara terbuka media-media mainstream, khususnya televisi dan para pemiliknya.

Dalam situasi tersebut, Tapsell memandang industri media di Indonesia, adalah permainan dari segelintir oligarki bisnis media. Dan hal tersebut dapat dilihat dalam konstelasi politik Pilpres 2014. Prabowo didukung oleh lebih banyak partai secara dominan saat itu. 

Termasuk mendapatkan support para pemilik media, diantaranya TV One milik Aburizal Bakrie dan RCTI kepunyaan Hary Tanoe saat itu. Logika politik menggunakan kalkulasi media, harusnya memberikan keuntungan dan kemenangan bagi Prabowo.

Tetapi hasil akhirnya, menempatkan Jokowi sebagai pemenang kompetisi. Faktor pentingnya adalah perluasan jangkauan pesan melalui medium sosial media yang terfasilitasi melalui jejaring internet. Facebook, Twitter dan Website dipergunakan menjadi medium kampanye. 

Kubu Jokowi praktis hanya disokong Metro TV, meski dalam operasi yang samar, beberapa media memiliki tendensi dukungan pada Jokowi, namun tidak dinyatakan secara terbuka.

Apa yang berhasil diciptakan melalui amplifikasi pesan di sosial media bagi Jokowi? (a) Jokowi adalah simbolisasi rakyat kebanyakan alias merakyat, (b) Jokowi merupakan figur yang sederhana dan anti korupsi, (c) Jokowi memiliki pengalaman dan kemampuan pengelolaan daerah secara manusiawi, melalui kasus pemindahan pasar di Solo.

Kesan atas citra yang kuat untuk Jokowi, terbantu dan tercipta melalui ruang sosial media. Termasuk Branding tentang mobil Esemka dan kegemaran bekerja melalui metode blusukan. Hal tersebut menciptakan counter narasi dari media mainstream. Membangun euforia publik tentang harapan kepemimpinan yang tidak berjarak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun