Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Politik Kuasa, Pilpres, dan Pengaruh Media

3 April 2019   14:54 Diperbarui: 4 April 2019   07:27 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Para pemilik media menjadi penguasa baru, dalam makna yang tidak langsung. Kepemilikan media, yang terintegrasi melalui elektronik dan cetak, hanya mungkin dilakukan dengan jalur konglomerasi, tidak hanya menggantungkan diri pada tumpuan bisnis media semata, tetapi juga melakukan melakukan pola subsidi silang dengan berbagai bisnis lain.

Keberadaan industri media oleh para taipan media, ditujukan bagi kemampuan perluasan pengaruh, pembentukan wacana dan alat pencapaian kepentingan. Tapsell menyatakan, konglomerasi media di Asia dan Afrika memiliki perbedaan dengan apa yang ada di Barat dan Amerika sebagai barometer, dikarenakan susunan regulasi media dan politik lebih rigid dan spesifik. Asia dan Afrika tidak mengenal pembatasan serta larangan pemilik media untuk berpolitik praktis, bahkan dengan mempergunakan medianya untuk mendapatkan dukungan serta legitimasi publik.

Pemilik media di Indonesia kemudian bertindak sebagai bagian dari oligarki kekuasaan, karena pada bisnis media ada hambatan besar mengingat tingginya investasi dan kapasitas modal untuk bisa bertahan dalam industri tersebut, barrier to entry business tinggi, sehingga hanya terdapat sekelompok kecil penguasa media. Guna memastikan eksistensinya, pemilik media kemudian ikut aktif pada berbagai kegiatan politik, dengan berbagai motif.

Dengan demikian, pertarungan politik tidak ubahnya menjadi laga antar media dengan dukungan kepentingannya. Studi kasus keberhasilan Jokowi memasuki belantara politik dari level Walikota hingga menjadi Presiden melalui pemilu 2014, menurut Tapsell berada dalam perdebatan kajian apakah merupakan hasil langsung dari politik elektoral, ataukah menjadi proyeksi dari pertaruhan konglomerasi media dibelakangnya?.

Gerak-gerik Jokowi menjadi media darling tidak terkonstruksi begitu saja, istilah blusukan menjadi fenomena kerakyatan, disukai publik, dibentuk dan bukan tidak mungkin diskenariokan oleh media itu sendiri. Kekuatan besar yang bertarung saat itu Prabowo dan Jokowi, keduanya adalah bersaing untuk mengisi kekosongan kursi kepresidenan pasca SBY yang telah dua kali memimpin.

Situasinya Prabowo didukung oleh koalisi besar dengan perangkat media pendukungnya, kemudian takluk dari Jokowi dengan konstruksi realitasnya sebagai figur merakyat. Amplifikasi sosial media dimanfaatkan dengan baik oleh Jokowi untuk melakukan counter narasi dari media mainstream, dan hal itu berhasil merebut hati publik saat itu. Dunia digital begitu luar biasa fenomenal pengaruhnya, terutama ketika terjadi penurunan minat pada kanal media tradisional oleh kaum muda. 

Oligarki penguasa media seolah terbalik dari arus besar yang terjadi di sosial media, terjungkir balik. Ada sekuens terpisah antara kemampuan mengelola isu di media konvensional, berhadapan dengan viralitas percakapan publik di media sosial. Terbukti bahwa media sosial, kemudian mendapatkan momentum masuk ke dalam kerangka berpikir publik. Sehingga, keterpilihan Jokowi bisa dikategorisasikan sebagai hasil yang tidak terelakkan dari kontestasi kala itu, sesuatu yang tidak diinginkan oleh oligarki media, tapi angin mudah berhembus dan berpindah.

Pilpres 2019 di Sosial Media?

Beda dulu lain sekarang. Jokowi kini petahana, dengan segala perangkat pendukungnya, termasuk kolaborasinya dengan partai-partai politik pengusung serta pendukung, serta oligarki media yang berada di sekelilingnya. Kajian Tapsell dapat dijadikan sebagai alat uji, karena situasinya berbalik dari apa yang terjadi pada Pilpres 2014, dengan aktor-aktor yang sama, dimana peta politik serta medianya berubah.

Bila kemudian sosial media, sebagaimana Tapsell menyatakan, dapat dipergunakan untuk melihat apa yang berkembang di tingkat perbincangan publik, maka mudah melihat kemana sentimen itu. Suara ketidakpuasan publik, termanifestasi melalui hastag (#). Jika kemudian bot, buzzer dan fake account dieliminasi dari percakapan organik di sosial media, agaknya proporsi dominan cenderung ada dalam ketidakpuasan terhadap petahana.

Situasi tersebut, jelas memberikan keuntungan bagi pihak oposisi. Oligarki media dengan kekuatan serta dengan kemampuan persuasi dalam pembentukan opini melalui narasi yang dimilikinya, kini berlindung dibalik punggung kekuasaan. Bisa jadi, hal tersebut ditujukan untuk mengamankan posisinya, berhadapan dengan krisis eksistensi media mainstream di dunia digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun