Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Wacana Pidato Jokowi di Hari Kemerdekaan ke-73

11 Oktober 2018   19:00 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:07 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pidato dalam Bayang Pilpres 2019

Upaya telaah atas Pidato Jokowi dihadapan MPR/ DPR dan DPD tidak dilakukan langsung pada teks pidato yang dibawakannya, melainkan pada posisi pemberitaan yang disampaikan melalui kanal berita online, yakni Detik.com, dalam hal ini situs berita Detik.com melakukan peliputan Pidato Kenegaraan tersebut dari secara realtime, dengan membaginya kedalam beberapa bagian berita. 

Tentu saja pilihan berita yang disampaikan Detik.com tidak menjadi dasar analisis wacana, melainkan pada tematik artikel yang bersesuaian dengan konteks baying-bayang persaingan politik menjelang tahun politik.

Tema berita terkait Pidato Presiden diselaraskan dengan kritik yang dilontarkan pihak opisisi, sekaligus menghantarkan wacana yang hendak disampaikan Jokowi melalui penampilannya. Terdapat sekurangnya empat artikel yang bertema politik dan ekonomi yang dijadikan bahan analisis wacana dalam kajian ini dengan teks utuh pemberitaan sebagaimana (Ray Jordan, 2018) melaporkan;

Link: baca ini

Frase kerja "memulihkan" dapat dimaknai sebagai upaya membangun kembali persatuan paska Pilpres 2014 yang sempat mengalami ketegangan. Pemulihan juga dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hasil pembangunan yang telah dicapai. Jokowi hendak mengesankan berbagai pihak bahwa slogan "kerja, kerja, kerja" itu bukan sekedar "omong kosong" hal ini diperlihatkan dengan bentuk pembangunan infrastruktur yang menjangkau berbagai daerah dalam masa pemerintahannya. 

Bahkan diksi tentang "semakin merasakan kita satu bangsa, satu tanah air" adalah ungkapan bagi upaya menyingkap arah pembangunan yang tidak hanya Jawa-sentris tetapi mencapai pada daerah terluar, serta membangun interkonektivitas, dalam asumsi sebagai jalur tercepat mendorong terjadinya distribusi kemajuan hasil pembangunan.

Selain itu, pilihan kata "saya" dapat disimbolisasikan sebagai bentuk bahwa Jokowi adalah pemimpin sesungguhnya dari gerak perubahan di tanah air, menepis keraguan banyak pihak yang menyatakan Jokowi hanya sekedar "petugas partai", dalam kesan pidatonya Jokowi meyakinkan bahwa dirinya menjadi pengarah atas seluruh program kerja yang dilaksanakan secara nasional. Dan tidak ketinggalan frasa "berjuang" yang diartkan sebagai bentu berupaya sungguh-sungguh sekuat tenaga.

Tidak berhenti disitu, Jokowi juga hendak memberikan paparan keberhasilan kerjanya, dalam capaian angka-angka, meski secara formal kebiasaan penempatan pidato laporan dengan berbagai ilustrasi angka ditempatkan pada saat paparan pidato nota keuangan dan RAPBN tahun selanjutnya, kini Pidato Kenegaraan HUT ke-73 Kemerdekaan tidak luput diisi dengan pencapaian terbaik, seperti yang ditayangkan (Sylke Febrina Laucereno, 2018) sebagai berikut;

Link: baca ini

Pesan yang hendak disampaikan Jokowi, pada bagian artikel ini adalah pencapaian keberhasilan ekonomi. Detik.com menyebutkan "pamer" sebagai upaya untuk memberitahu kepada publik secara meluas melalui amplifikasi media massa, bahwa apa yang dijadikan sebagai tudingan banyak pihak terkait dengan kondisi perekonomian yang mengalami perburukan tidaklah sedemikian pada kenyataannya.

Pecapaian penurunan angka ketimpangan melalui indikator Gini telah mengalami penurunan. Demikian pula dengan pertambahan upaya perlindungan bagi jumlah keluarga yang berkategori rawan, dalam program keluarga harapan. Posisi yang hendak ditekankan Jokowi pada segmentasi pidato ekonomi ini adalah keberhasilan penurunan jumlah pengangguran, dengan demikian terdapat asumsi investasi baru dan lapangan kerja.

Stimulus bagi UMKM adalah upaya pemerintahan Jokowi untuk mendorong apa yang disebutnya sebagai "generasi produktif" yang dapat diartikan sebagai kelompok muda millennial, agar dapat lebih banyak masuk ke dunia industri dalam negeri yang menggerakan sektor ekonomi. Diksi yang menarik tentang "40% lapisan masyarakat terbawah" alih-alih menyebut keluarga miskin dan sejahtera, adalah bentuk dari upaya Jokowi untuk tampil secara manusiawi, tidak melakukan diskriminasi dan pembedaan, meski dalam makna serumpun.

Meski demikian, Jokowi tidak memungkiri jika terdapat persoalan yang mungkin akan terjadi dikemudian hari sebagai konsekuensi dari integrasi sistem secara internasional, dan lebih jauh lagi, hal tersebut merupakan ancaman dari ketidakpastian global, sesuatu yang disampaikan (Hendra Kusuma, 2018) dengan rincian berita berikut ini;

Link: baca ini

Penjelasan Jokowi tentang bahwa hanya bangsa besar yang akan berhadapan dengan persoalan yang besar, dengan demikian, maka logika yang hendak dibangun Jokowi adalah memposisikan Indonesia sebagai negara yang "besar" dalam segala aspek yang dimilikinya, terutama kekayaan keragamanan sosial.

Terlebih lagi pilihan kata "tantangan" dibandingkan dengan "masalah", hendak menegaskan bahwa terdapat optimisme, karena "tantangan" lebih bermakna positif jika dikomparasikan dengan "masalah" yang memiliki tendensi negatif.

Pada sisi lain, secara subjektif, Jokowi beralih dari pilihan kata "saya" menjadi "kita" saat berbicara tentang tantangan yang akan dihadapi dimasa mendatang. Hal itu selaras dengan "modal sosial" yang diartikan sebagai keyakinan atau dalam bahasa Detik.com disebut sebagai pede, bahwa melalui kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan semua tantangan itu dapat diselesaikan, guna dapat keluar sebagai bangsa pemenang.

Terkait dengan proses politik, ditahun 2019 yang akan berlangsung, Jokowi tidak ketinggalan memberikan uraian dalam pidato kenegaraannya, meski sejatinya konteks pidato menjadi bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan ke-73, tetapi secara langsung Jokowi menyebut pentingnya menjaga "suhu" kebangsaan, bahkan dalam perbedaan pilihan politik, sebagaimana diturunkan (Ray Jordan, 2018) dalam beritanya;

Link: baca ini

Berdewasa dalam berpolitik adalah statement tentang kematangan mental publik yang telah teruji melalui momentum pilkada serentak. Jokowi menambahkan, ketegangan dan ancaman telah berhasil dilepaskan, dengan basis inspirasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tetapi dalam hal ini Jokowi nampak lupa bahwa dalam agenda Pilkada serentak se-Indonesia tertutp oleh riuh rendah Pilkada DKI Jakarta yang kemudian menciptakan suasana sebagaimana yang terjadi saat ini dengan polarisasi kubu yang ditengarai dalam pengistilahan "Cebong" dan "Kampret".

Berkali-kali dalam berita ini, Jokwi menggunakan frasa "saya" terkait keyakinan dirinya bahwa tahun politik di 2019 akan disambut dengan antusias dan penuh kegembiraan, meski demikian Jokowi menyatakan kata "kita" sebagai bentuk keberhasilan melalui event Pilkada serentak adalah usaha bersama seluruh pihak warga bangsa, dan dalam kedudukan tersebut, sejatinya kita telah sejajar dengan bangsa-bsangsa lain yang berdaulat dan bermartabat.

Dengan demikian, melalui rekonstrusi dalam analisis wacana yang diperoleh melalui keempat artikel yang dirilis pada Detik.com terkait agenda Pidato Kenegaraan Presiden pada Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia dapat diformulasikan bentuk struktur yang terjadi, yakni:

Struktur Makro: dalam hal ini adalah tematik yang dikedepankan dalam pemberitaan, yaitu bahwa Jokowi berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan posisinya telah mampu mengkonsolidasikan kekuatan sosial publik yang telah tercerai-berai sebelumnya. 

Dimana untuk hal itu, Jokowi bersama dengan Kabinet Kerja yang dibentuknya telah berupaya secara optimal guna mencapai keberhasilan dalam ukuran indikator makro, yang ditandai dengan tingkat kemiskinan, rasio ketimpangan, pertambahan inftrastruktur dan investasi serta serapan tenaga kerja.

Tentu sejumlah klaim keberhasilan ini perlu diverifikasi ulang, terkait dengan situasi yang terjadi dilapisan "40% masyarakat terbawah" dalam terminologi yang dipergunakan Jokowi itu sendiri. Pidato kali ini memang jadi keuntungan bagi petahana untuk dapat memberikan ekspose atas apa yang telah dilakukan, sebagai bekal dalam berkontestasi di Pilpres yang akan datang. 

Tentu berhadapan dengan kandidat lain, dalam hal ini Prabowo-Sandi, yang belum memiliki bukti kerja terukur dalam pemerintahan memberikan sebuah keuntungan positioning bagi slogan "kerja, kerja, kerja" Jokowi.

Melalui paparan hasil kinerja pemerintahan Jokowi, maka sudah tentu pidatonya kali bukan sebagaiana biasanya, ada "rasa special" yakni "rasa pilpres" namun itu menjadi sebuah hal yang wajar mengingat dalam posisi incumbent, Jokowi memang dalam dua posisi yakni sebagai "Presiden 2014 dan Capres 2019", akan dapat menempatkan berbagai momentum kenegaraan dalam upaya membantu mengkomunikasikan keberhasilan pemerintah.

Superstruktur: terkait skematik dalam tata urutan, yakni Jokowi memberikan titik tekan pada keberhasilan mengelola persatuan sebagai bentuk modalitas pembangunan, serta menciptakan posisi yang tidak lagi berpusat pada pembangunan diwilayah Barat dan Tengah tetapi juga menjamah ke bagian Timur Indonesia yang selama ini masih jauh dari derap perkembangan pembangunan. 

Kekuatan yang ditonjolkan adalah penyiapan infrastruktur yang dikerjakan, atau dalam bahasa yang kias dinyatakan "dikebut" pada 2019. Sebuah korelasi yang dapat ditarik sebagai daya dukung politik.

Dalam hal penguatan kepentingan sosial dan ekonomi, pemerintah memberikan perhatian kepada "40% masyarakat terbawah" dengan berbagai program sosial. Angka-angka kembali ditunjukan Jokowi termasuk keberhasilan menekan kemiskinan dan ketimpangan, meski demikian Jokowi tidak serta merta menyebut pelemahan nilai tukar secara langsung, melainkan melakukan upaya memperhalus sebagai tantangan dari "ketidakpastian global", yang harus secara bersama dihadapi sebagai sebuah bangsa yang besar. 

Pada posisi tersebut, Jokowi hendak melihat persoalan eksternal menjadi pemicu, dan bukan disebabkan faktor fundamental internal yang pendekatannya dilakukan menggunakan "data-data" yang bisa jadi atau mungkin juga tidak sinkron dengan fakta lapangan.

Namun demikian, Jokowi memang tengah mencoba memberikan ilustrasi yang menarik tentang keberlanjutan pembangunan, bahwa kerja keras yang sudah dilakukan pemerintahannya, masih akan ditingkatkan kemudian hari, dengan demikian, maka Jokowi seolah hendak berupaya meminta ijin secara tidak langsung untuk dapat dipercaya kembali menjadi Presiden pada periode Pilpres 2019, dengan harapan "menuntaskan" pembangunan yang sudah berjalan, sebab selama ini kognisi publik kerap diisi bayangan bahwa pembangunan tergantung siapa pemimpin terpilih, dan sirkulasi serta pergantian kepemimpinan identik dengan perbaharuan program pembangunan.

Struktur Mikro: berkenaan dengan bentuk kalimat dan metafora yang dipergunakan, Jokowi dalam berita yang disampaikan kerap menggunakan pilihan kata "saya" ketika berucap tentang harapan dan pencapaian, dan kemudian beralih pada perkataan "kita" saat berhadapan dengan "tantangan", sejatinya hal ini merupakan ekspresi bahwa melalui kesatuan dan persatuan dalam keberagaman maka segala persoalan bisa diselesaikan.

Disisi lain, dalam pidato formal yang menjadi bagian dari standar kenegaraan, tentu pernyataan yang lugas dan bersifat lugas serta spontan tidak bisa dimunculkan sebagai political statement, karena semua yang disampaikan dalam proses pidato telah di-setting dengan ekspektasi tentunya perluasan pesan dan makna atas keberhasilan pemerintahan, dengan kepentingan membangun opini dan persepsi yang baik akan citra pemerintahan Jokowi.

Tentu harapan terbaik, sebagaimana lantunan doa dari Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar, pada penutupan sidang kali itu, agar kita selalu dalam bimbingan Illahi sebagai hamba-Nya, agar tak hanya pandai mensyukuri nikmat, tapi pandai bersabar atas cobaan. Tak hanya bersikap kritis, tapi santun. Sekaligus mendapatkan pemimpin, yang bukan hanya mampu bicara banyak, tapi juga dapat berbuat banyak.

Jadi? Tentu saja khalayak yang akan menentukan pilihan politik, apakah memang Jokowi menjadi pilihan terbaik yang dapat dilihat dari keberhasilan pembangunan fisik yang sudah dilakukan, termasuk berbagai pencapaian lainnya, ataukah sebaliknya? Silahkan ditimbang!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun