Hari  kemenangan telah tiba, saatnya memberi ruang damai bagi diri dan  sesama, bermaafan serta menjalin silaturahim adalah bagian dari keutamaan pada momentum suci tersebut.
Pada periode yang sama, iklan visual ucapan meminta maaf para elit bermunculan di layar kaca, seolah tidak ingin ketinggalan.
Tampilan  relijius adalah bentuk yang berbeda dari para politisi pada waktu-waktu  ini, hendak menyesuaikan diri dengan lingkup konteksnya.
Kita  tentu berharap hal seperti ini bukan hanya sementara, karena rangkaian  kata indah dan bijaksana hendaknya menjadi tingkah keseharian sesudahnya.
Selama ini, Â panggung politik dalam persepsi publik dianggap sebagai kubangan lumpur, Â hal yang diasosiasikan dengan perilaku koruptif dan tamak.
Politik,  dalam teori klasik Aristoteles dinyatakan sebagai usaha kolektif untuk  tujuan kebaikan bersama. Sementara dalam kerangka moderen dimaknai  sebagai upaya meraih kekuasaan guna menyelenggarakan pemerintahan.
Maka  secara hakikat, fitrah keberadaan politik dalam kehidupan manusia  sesungguhnya ditujukan bagi hal-hal kebaikan untuk kemanusiaan.
Kalaulah  hari-hari ini wajah perpolitikan kita masih compang-camping karena  perilaku kekuasaan yang tidak berpihak kepada kepentingan publik, maka  koreksi dan evaluasi perlu dilakukan secara mendalam.
Elegi Korupsi
Persoalan  korupsi, adalah penyakit kronis dan akut. Merujuk temuan Transparansi  Internasional, mudah saja melihatnya, peringkat Indeks Persepsi Korupsi  Indonesia di 2017 yang menempati peringkat ke 96 dari 180 negara. Masih  dibawah Singapura (6), Brunai Darussalam (32), Malaysia (62) dan Timor  Leste (91).
Berdasarkan  rilis ICW di 2017 menyatakan ada 576 kasus korupsi dengan total  kerugian negara sekitar 6.5 triliun. Jika berkaca dari data tersebut, manakala kasus korupsi merupakan fenomena gunung es maka bisa  diproyeksikan jumlah kasus yang tidak muncul ke permukaan sangatlah  massif.