Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BPJS Kesehatan: Program Ideal dalam Kondisi Tidak Ideal

19 Oktober 2017   09:22 Diperbarui: 19 Oktober 2017   09:29 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu, diujung telepon seorang ibu mengadukan nasib pelayanan BPJS Kesehatan. Maklum saja kontak pribadi masih terpampang dikontak informasi pekerjaan terakhir. Walhasil kegundahan sang ibu tersebut saya tanggapi dengan senyuman, sehangat sinar mentari pagi itu yang lembut menyapa. Bagian terakhir terlalu hiperbolik rasanya ya.

Namun sebagai bagian dari pihak yang juga dijamin oleh BPJS Kesehatan, maka saya kembali berpikir tentang program jaminan kesehatan nasional ini, yang disebut berpotensi defisit hingga Rp10T tahun ini. Sebuah angka yang tentu tidak terbayangkan besarnya. Bersamaan dengan itu, halaman koran pagi ini menampilkan tulisan Prof Hasbullah Thabrany berjudul "Politik Jaminan Kesehatan Nasional". Betapa sebuah kebetulan yang beruntun layaknya sinetron dilayar kaca.

Secara pribadi BPJS Kesehatan adalah upaya kita sebagai sebuah negara untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan bagi seluruh warga negara. Persoalannya, kapasitas yang dimiliki oleh bangsa ini dalam hal kemampuan keuangan terbatas, terutama untuk membiayai semua program kerjanya. Lalu bagaimana seharusnya peerintah dalam hal ini, memandang Program BPJS Kesehatan?

Pertama: model asuransi social yang mengandaikan bahwa seluruh masyarakat bergotong royong dalam membantu lapisan miskin dan rentan sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak diiringi dengan upaya untuk hidup sehat. Jadi, kamu boleh gratis mendapatkan layanan rumah sakit, disisi lain kamu masih boleh bebas merdeka dan leluasa merokok dengan gaya hidup tidak sehat?. Jadi ambigu kan.

Kedua: pola skema premi yang tidak sesuai dengan profiling klien yang dilayani. Nilai premi yang ditentukan masih jauh dari kondisi ideal, karena pemerintah memang menanggung subsidi bagi masyarakat miskin atau penerima bantuan iuran, dan dalam hal ini pemerintah berupaya agar nilai premi yang ditentukan tidak juga membebani kas negara. Kan kalau mau menolong jangan setengah hati.

Ketiga: tarif layanan yang rendah khususnya bagi institusi swasta, hal ini pula kerap menjadi masalah dalam memberi layanan paripurna. Hukum ekonomi menyatakan, harga adalah kesepakatan penjual dan pembeli, tetapi apa jadinya ketika harga telah ditentukan diawal? Tentu upaya reduksi biaya dilakukan agar tidak menyentuh batas harga, supaya penjual beroleh marjin, praktis kualitas layanan turun.

Keempat: efisiensi penyelenggaraan BPJS Kesehatan khususnya yang masuk dalam kategori non layanan. Konsepsinya, premi terkumpul dijadikan sarana pembayaran klaim yang masuk diboboti dengan biaya pengelolaan, disini lalu kita perlu bertanya sejauh apa mekanisme efisiensi di BPJS untuk hal non layanan dilakukan? Jangan sampai aspek operasional pengelolaan justru menyedot pembiayaan yang tidak kalah besarnya dari klaim layanan.

Kelima: terjadinya insurance effect ditengah masyarakat, karena akses layanan semakin terbuka, maka kini semua berupaya untuk mengakses langsung pelayanan kesehatan. Terdapat pola konsumsi yang sama untuk sektor kesehatan disemua lapis kalangan masyarakat, yakni tidak terlalu bahagia saat mengeluarkan biaya kesehatan, dibanding dengan berbelanja saat diskon dipusat perbelanjaan.

Fakta lapangan sudah banyak ditemui, keterlambatan pembayaran klaim ke rumah sakit, rendahnya nilai imbal jasa tenaga kesehatan, minimnya dukungan dan perlindungan hukum bagi institusi kesehatan, hingga yang dirasakan oleh pasien itu sendiri seperti waktu tunggu yang lama, hingga tidak optimalnya pemberian layanan.

Lalu bila demikian, maka banyak hal yang perlu dibenahi dan diperbaiki dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, karena program ideal ini memang dilaksanakan dalam kondisi yang jauh dari kata ideal.

Problemnya, program nasional ini memang menjadi isu popular, karena dengan mudah mengambil simpati masyarakat, dan untuk itu akan terdapat banyak pihak yang tersisihkan, persis seperti apa yang diungkap Prof Hasbullah dalam opininya tentang kentalnya perspektif politik pada pelaksanaan jaminan kesehatan nasional ini.

Salam hangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun