Mohon tunggu...
Yudha Prima
Yudha Prima Mohon Tunggu... -

saya ya begini ini

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anda Butuh Nyaman, Kami Butuh Uang

2 Desember 2012   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anda Butuh Nyaman, Kami Butuh Uang

Berbeda dengan pagi sebelumnya, agenda pagi ini memaksa Karina untuk mempercepat geraknya. Urusan di kamar mandi yang biasanya mencapai 45 menit dikorting hingga menjadi 15 menit. Berpakaian dan berdandan yang biasanya memakan waktu 30 menit dipangkas 20 menit. Sarapan yang biasanya 15 menit dikebut menjadi 7 menit. Itupun Karina harus rela menyantap hidangan ala kadarnya tetapi tetap memenuhi standar gizi, yaitu sepiring nasi putih dan telur ceplok yang kuningnya setengah matang plus kecap manis semanis parasnya.

Sebentar-sebentar Karina menengok ke arah dinding yang tebal. Dia seperti cemas akan ada makhluk planet lain sebangsa alien yang mampu menembus masuk dan memporakporandakan rumahnya.

Tetapi pastinya bukan karena itu Karina beberapa kali menatap dinding. Dia takut akan termasuk golongan orang yang merugi karena persoalan waktu. Kadang dia menyangka kalau jarum pendek jam dindingnya telah menyalahi kodratnya dengan tidak lagi bergerak sedetik sedetik, melainkan lebih cepat dari itu.

Tidak. Sang waktu ternyata tetap tunduk mengikuti Sunnatullah. Tak seperti banyak hamba Allah yang bernama manusia, sang waktu tak pernah mau untuk ingkar, khianat, melakukan manipulasi dan juga korupsi. Hanya saja manusia seperti Karina harus lebih cerdas dan bijak dalam mengatur waktu untuk berbagai urusan yang semakin banyak. Jika tidak sang waktu akan menikam seperti halnya sebilah pedang tajam.

Mulai hari ini urusan hidup Karina bertambah lagi satu. Hari ini Karina akan mulai menjalani status kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. Berarti, mau tidak mau Karina harus men-setting ulang pembagian waktunya.

06.00. Karina makin gelisah. Setengah berlari dia melakukan semuanya. Bersepatu, mengambil tas punggungnya, berpamitan, keluar rumah, hingga menuju ke tepi jalan untuk menunggu datangnya angkutan kota (angkot). Inilah saat-saat yang paling menjengkelkan. Meski begitu Karina berusaha bersabar. Dia sadar inilah resiko hidup sebagai konsumen setia sarana transportasi umum yang kini tarifnya jauh-dekat Rp 3.000,00 itu.

06.25. Angkot tak kunjung menampakkan sosoknya. Karina masih menunggu dengan gelisah. 50 menit lagi perkuliahan dimulai.

“Duduk Mbak. Nunggu angkot ta?” Kata seorang pria penunggu warung nasi bungkus yang ramai dikunjungi pembeli. Dia menyodorkan kursi kecil kepada Karina.

Karina menoleh. Dengan senang hati dia menerima tawaran pria itu karena kakinya mulai agak pegal gara-gara berdiri sejak tadi.

“Terimakasih, Pak.”

Karina lalu duduk sambil tetap mengawasi lalu lalang kendaraan di depannya.

“Sarapan Mbak,” kata salah satu pengunjung warung.

“Oh silahkan Pak. Saya sudah tadi di rumah,” jawab Karina sambil tersenyum.

06.30. Angkot yang ditunggu Karina belum juga datang. Karina geregetan menemui kenyataan tak mengenakkan ini.

“Angkotnya belum lewat ya Pak?” Tanya Karina pada orang-orang di warung.

“Wah lama Mbak datangnya. Mungkin nunggu penumpangnya agak banyak baru sopirnya berangkat,” jawab pemilik warung. Jawaban yang makin membuat Karina cemas.

06.45. Penantian Karina berakhir. Sebuah mobil berwarna hijau gelap yang bagian samping belakangnya terbuka meluncur pelan.

“Permisi Pak. Terima kasih kursinya,” kata Karina pada pemilik warung kemudian berlari masuk ke dalam angkot yang hanya ditumpangi 3 orang termasuk dirinya.

Menurut perkiraan Karina, jarak rumah Karina ke kampus bisa ditempuh sekitar 30  menit kalau dengan roda empat. Namun semua perhitungan Karina terancam meleset. Dia mungkin lupa kalau dia sedang naik angkot, bukan mobil pribadi, bukan taxi.

Benar. Angkot yang ditumpangi Karina bergerak sangat lambat. Setiap melewati gang-gang kecil angkot berhenti dua menitan. Karina beberapa kali menggerutu seolah ingin menunjukkan isyarat kejengkelannya.Sayangnya sang pengemudi seperti tidak tahu atau tidak mau tahu. Dia tetap saja mengendalikan mobilnya dengan kecepatan jauh di bawah normal.

Sejatinya bukan Karina saja yang jengkel dengan cara sopir angkot itu dalam mengemudi. Semua pengendara yang ada di belakang angkot juga merasakan kejengkelan. Mereka terpaksa menikmati kemacetan karena angkot bergerak sangat lambat dengan mengambil posisi di tengah jalan yang tidak terlalu lebar. Kejengkelan mereka tampak dari suara klakson mereka yang memekakkan. Tetapi semua itu serasa percuma.Sang sopir angkot memilih untuk berlagak tak mendengar. Dia tetap memasang tampang innocent. Dia seperti merasa hidup sendiri di alam ini.

07.20. Akhirnya Karina menyerah pasrah. Dia merasa percuma saja menggerutu dan mengomel. Hanya satu yang kini dia harap, yaitu sang dosen mau mentolerir keterlambatannya.

07.25. Karina tiba di seberang gerbang kampusnya. Dengan terburu-buru dia serahkan tiga lembar uang seribuan pada sopir angkot. Lalu dia pun berlari secepat sprinter pada lomba lari 100 meter. Sambil berlari dia berkhayal andai saja dia menguasai aji sapu angin seperti Sunan Kalijaga dia tak perlu cemas begini.

07.30. Keberuntungan masih berpihak pada Karina. Dosen yang menyampaikan materi kuliah pagi ini masih mempersilahkan Karina masuk. Meski resikonya dia kehilangan materi  selama 15 menit dan tidak bisa langsung fokus karena harus mengatur nafasnya yang tersengal-sengal usai berlari dari seberang kampus dilanjutkan naik tangga ke lantai 2. Untunglah AC di ruang kuliah berfungsi bagus sehingga mempercepat pengeringan peluh yang membasahi lengan, tangan dan pipinya. Dan untungnya juga Karina tak pernah lupa memakai deodoran dan parfum setiap akan bepergian.

Mata kuliah demi mata kuliah yang disampaikan hari ini dilahap Karina dengan antusias. Rasa sewot gara-gara angkot tersapu oleh suasana perkuliahan dan pertemanan yang menggairahkan.

Hari ini Karina menjalani kuliah perdananya hingga jam 15.00. Usai shalat Asar di mushalla kampusnya, diapun bersiap-siap kembali ke rumahnya dengan cara yang sama seperti saat ia berangkat, yaitu naik angkot.

Sedikit lebih mujur daripada saat berangkat, Karina bisa mendapatkan angkot selang 15 menit sejak ia berdiri menunggu. Yang tidak jauh berbeda adalah jumlah penumpang yang ada di dalam angkot dan tentu saja kecepatan jalannya yang tidak lebih cepat dari kayuhan abang becak. Untunglah Karina tidak lagi panik. Karina tidak merasa perlu harus segera tiba di rumah. Jadi dia rileks saja menikmati angin yang berhembus dari luar jendela angkot yang kacanya terbuka.

Lembutnya belaian angin membuat beberapa penumpang angkot terserang kantuk. Apalagi mereka memang terjerat keletihan usai menjalani aktivitas kerja ataupun studi sedari pagi. Jalannya roda angkot yang merambat dengan sesekali berhenti untuk mencari penumpang juga semakin membuat penumpangnya serasa bayi berada dalam timangan bundanya. Begitu pula yang dirasakan Karina.

Meski terus digoda suasana, Karina berusaha keras untuk tetap terjaga. Dia takut kalau ia sampai tertidur akan terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan. Seperti peringatan di sebuah acara di salah satu stasiun TV, kejahatan terjadi bukan cuma karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Karena itu Karina memasang sikap  waspada. Kecemasan lain kalau ia tertidur adalah kebablasan jauh dari rumahnya sehingga ia harus mencari angkot lagi untuk kembali ke jalan menuju rumahnya. Padahal uang sakunya hanya tinggal 5000 saja.

Meski tak sampai terlelap, lambannya perjalanan angkot yang Karina nikmati membuatnya hanyut dalam lamunan. Karina menganalogikan kalau seperti angkot inilah jalannya reformasi di negeri ini. Sangat lambat dan sering berhenti. Sehingga membuat penumpangnya merasa jenuh dan kehilangan harapan.

Saat Karina sedang asyik melamun dan tiga penumpang lainnya tertidur, tiba-tiba geraman mesin angkot menyentakkan kesadaran mereka semua. Angkot yang sedari tadi bergerak lambat mendadak memacu kecepatannya bak mobil balap formula 1. Semua penumpang kaget merasakan perubahan tak terduga ini. Mereka semua bertanya-tanya ada apakah gerangan?

Tak butuh waktu lama buat keempat penumpang itu untuk mendapatkan jawabannya. Sekitar 150 meter di belakang angkot yang mereka tumpangi, sebuah angkot lain dengan jurusan yang sama melaju juga dengan kecepatan tinggi. Kompetisi sengit seperti persaingan antara Fernando Alonso melawan Lewis Hamilton tak terelakkan. Bedanya, kalau kedua pembalap itu bersaing memperebutkan naik podium sebagai juara I, kedua sopir angkot itu bersaing memperebutkan penumpang.

“Awaaaaaaaaaas,” jerit seorang ibu penumpang saat angkot yang ditumpanginya melakukan gerakan zig zag menyalip kendaraan-kendaraan yang ada di depannya. Nyaris saja menyenggol seorang pengendara sepeda motor yang melintas di lajur kiri jalan.

Ketegangan terpancar dari raut wajah para penumpang di belakang sopir angkot itu. Terutama Karina dan si ibu yang tadi menjerit ketakutan. Tetapi semua itu tak membuat sopir angkot tergerak hatinya untuk mengendalikan mobilnya dengan kecepatan wajar demi kenyamanan dan keselamatan penumpang. Hanya ada satu rumus yang berlaku buatnya: penumpang = uang dan uang = setoran. Dengan formula inilah sopir-sopir angkot menjalani persaingan keras di jalanan.

Tiba-tiba angkot direm mendadak saat traffic light menyala merah. Para penumpangnya terguncang ke depan. Untunglah tangan mereka berpegangan erat pada kursi, daun pintu dan juga jendela. Kini mereka bisa menarik nafas sejenak selama 120 detik karena angkot itu kini  berhenti beberapa sentimeter di depan zebra cross.

Setelah dua menit terlalui, balap angkot yang seru dan menegangkan itu terjadi lagi. Kedua sopir sama-sama tak mau mengalah dan merasa kalau semua jalan yang dilintasi itu adalah milik mereka sendiri.

Memasuki jalan dua arah di depan sebuah kawasan pertokoan, balapan itu kembali terhambat. Kali ini oleh musuh besar para pemakai jalan, yaitu kemacetan. Semua kendaraan yang ada di ruas jalan ke arah utara bergerak merayap. Adu klakson membahana meski semua itu tak mampu merubah keadaan.

“Ada yang turun pasar?” Tanya sopir angkot yang ditumpangi Karina sembari menoleh ke belakang.

Tak ada jawaban. Semua penumpang saling pandang. Hingga akhirnya semua  menggelengkan kepala.

Dan beberapa saat berikutnya…………………………………………………………….

“Awas Paaaaaaaaaaaaaaaaaaak,” jerit para penumpang serempak seperti sedang menaiki jet coster.

Sopir angkot yang ditumpangi Karina itu memang melakukan tindakan tak terduga. Dia putar balikkan arah mobilnya meski jelas ada rambu lalu lintas yang melarang. Nyaris saja angkot bertubrukan dengan sebuah mobil pribadi yang meluncur dari arus berlawanan. Anehnya justru sopir itu yang mengumpat dan memaki seolah merasa kalau tindakannya itu tidaklah salah. Dan angkot itu tetap saja melaju kencang keluar dari trayeknya dengan tetap dibuntuti sang pesaing.

Para penumpang menggeleng-gelengkan kepalanya. Entahlah, apakah itu isyarat kekaguman atas kelihaian sopir angkot dalam mengemudi atau kedongkolan mereka atas keugal-ugalan sopir.

Kejar-mengejar antar angkot terus berlangsung. Adegan zigzag yang mencekam masih  kerap kali terjadi tanpa ada rasa peduli. Hanya sesekali saja salah satu atau bahkan keduanya melakukan pengereman saat lampu merah menyala atau mengambil penumpang.

“Kiri Pak,” teriak Karina saat jalan menuju gang tempat tinggalnya telah tampak 10 meter di depannya.

Sekali lagi sopir angkot itu melakukan pengereman yang membuat para penumpang mengalami guncangan ringan. Setelah berhenti, bergegas Karina turun dan menyerahkan selembar uang 5000 rupiah untuk mendapat kembalian 2000 rupiah. Lalu angkot itu meninggalkan Karina yang sekujur tubuhnya masih diselimuti ketegangan. Detak jantung Karina masih berdetak cepat untuk beberapa saat usai menikmati kerasnya pertarungan egoistik di jalanan.

Setelah bisa menguasai kesadarannya, Karina melangkah menuju rumahnya. Dia bersiap memeluk sang malam dan menyongsong fajar baru.

***

Hari baru tiba. Bagi Karina, hari baru berarti semangat baru, gairah baru, dan siap membuka lembaran baru untuk diisi dengan kisah-kisah kehidupan yang baru untuk berbaur  dengan kisah-kisah lama yang terputar kembali.

Salah satu kisah lama yang masih dan sangat mungkin akan terus terputar lagi dalam kehidupan Karina adalah romantika perjalanannya sebagai angkoter alias penggemar angkot. Memang tak tersedia alternatif lain yang bisa membuat Karina mengapungkan perasaan tak nyaman dan jera.

Dibandingkan kemarin, kali ini Karina lebih beruntung. Dia tak perlu berlama-lama menunggu angkot. Sekitar jam 06.15 si roda empat berkapasitas maksimal 15 penumpang itu  tiba. Asa untuk tidak datang terlambat di kampusnya membahana. Apalagi kali ini angkot melaju dengan kecepatan normal karena telah diisi sekitar 10 penumpang. Dan tak butuh waktu lama, setelah 3 kali menepi sejenak, angkot itu telah memenuhi batas maksimal kapasitasnya.

Setelah menempuh beberapa kilometer perjalanan, angkot kembali menepi saat satu  orang pria melambaikan tangannya. Kepala sopir angkot itu menoleh ke belakang.

“Tolong geseran ya Mas, Mbak! Tolong geseran!” Pinta sopir angkot itu agar bisa memasukkan satu penumpang lagi.

“Udah penuh Pak. Gak bisa geseran lagi,” sahut salah satu penumpang.

Si calon penumpang yang satu kakinya sudah terlanjur masuk angkot itu bingung. Di satu sisi dia membutuhkan jasa angkot. Di sisi lain dia juga segan untuk mengganggu kenyamanan penumpang.

Seolah tak rela satu orang sumber pendapatannya itu jatuh ke tangan sopir lain, si sopir itu pun memberi solusi darurat,”Duduk dingklik ya Mas.”

Dingklik adalah sebutan dalam bahasa Jawa untuk bangku kecil yang biasanya terbuat dari kayu. Pria itu makin ragu.

“Nggak deh Pak. Nunggu yang berikutnya aja.”

Si sopir itu tak mau menyerah begitu saja. Dia tak mau membiarkan calon penumpang itu lepas dari genggamannya.

“Lama lho Mas. Udah, sementara duduk dingklik aja. Nanti ada yang turun kok di depan sana.”

Hasutan dicampur muslihat yang dilancarkan si sopir itu ternyata mujarab juga. Pria itu akhirnya mau saja menikmati ketidaknyamanan duduk di atas dingklik sesuai saran si sopir. Penumpang yang lain memandang dengan sorot mata iba meski enggan untuk menyerahkan tempat duduknya. Untunglah si pria itu memang tak perlu berlama-lama menikmati tempat duduk daruratnya.

“Kiri Pak,” teriak Karina begitu angkot sudah tiba di seberang gerbang kampusnya.

Karina segera lengser dan merelakan singgasananya diambil alih oleh pria yang tadi duduk di antara kaki-kaki penumpang.

Usai menyerahkan ongkos, Karina melenggang masuk ke dalam kampus untuk menyantap ilmu-ilmu yang disajikan para dosen hari ini. Sesuai jadwal, Karina akan menjalani perkuliahan hingga jam 1 siang nanti.

***

“Hmm... shalat udah. Makan siang? Ntar aja ah di rumah. Hmmm... pulang aja wis,” gumam Karina setelah perkuliahannya hari ini telah semua dijalani.

Karina bergegas mengemasi barangnya. Lalu beranjak menuju ke gerbang keluar kampusnya. Siap menanti kehadiran angkot pengantar pulang.

Keberuntungan kembali menaungi Karina. Angkot yang telah terisi 7 penumpang berhenti memenuhi lambaian tangannya. Karina melangkah masuk dan memilih duduk dekat jendela menghadap pintu keluar masuknya penumpang.

Selang sekian meter, angkot berhenti lagi. Masuklah tiga pemuda. Satu pemuda memilih duduk dekat pintu. Sementara yang dua mengambil posisi mengapit Karina. Penampilan mereka biasa-biasa saja dan tidak menarik perhatian penumpang lain, meskipun perempuan seperti Karina.

Handphone di saku jaket Karina bergetar pertanda ada sms masuk. Dengan tenang Karina mengeluarkan HP dari saku. Dia bermaksud membaca isi sms yang masuk itu.

Belum lagi Karina sempat membaca isi smsnya, tiba-tiba ………………………………

“Awas Mbak, mau muntah,” kata pemuda di depannya sambil menunjuk ke arah pemuda di sebelah kanannya. Sementara si pemuda di kanannya berusaha menarik tangan kanan Karina seolah-olah agar Karina menggeser posisi duduknya.

Karina bingung. Sementara penumpang lainnya memasang sikap tak peduli. Dan beberapa detik berikutnya ……………………………………………………………………...

“Aaaaaaah….! HPku…..! Copeeeeeeeet!” Teriak Karina.

Tak ada yang peduli dengan teriakan Karina. Sopir angkot pun tidak. Dia bersikap biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apapun di kendaraannya. Tiga pemuda itu pun dengan gampangnya member perintah kepada sopir untuk menepi. Akhirnya ketiga pencopet muda itu pun turun angkot meninggalka Karina yang dilanda shock berat.

Karina benar-benar sulit memahami situasi yang baru saja menimpa dirinya. Mengapa yang lain hanya diam tak peduli? Benarkah individualism warga kota sudah sedemikian akut? Atau diamnya mereka semata-mata karena takut? Mengapa pula sopir angkot membiarkan mereka naik turun angkot dengan mudahnya? Benarkah dia tidak tahu siapa sesungguhnya mereka itu? Atau jangan-jangan terjadi konspirasi antara pengemudi dan pelaku kejahatan itu? Atau sopir hanya mencari keselamatan untuknya sendiri dalam mencari nafkah? Tidak adakah hak penumpang seperti dirinya untuk menikmati jasa angkutan dengan nyaman?

Tanpa terasa angkot sudah mendekati gang rumah Karina. Untung saja karina masih bisa menguasai kesadarannya.

“Kiri Pak,” kata Karina dengan suara lemas.

Usai membayar ongkos dengan uang pas, Karina melangkah setapak demi setapak meninggalkan episode buruknya. Hati kecilnya berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia sadar kalau tidak bisa menggunakan kacamata hitam putih untuk menganalisa masalah ini. Dia juga sadar, sampai jangka waktu yang lama akan terus terjadi konflik kepentingan antara sopir dan penumpang angkutan bertarif paling ekonomis itu. Penumpang butuh nyaman, sopir butuh uang setoran.

(Yudha FAM 948 U, Humas Forum AKtif Menulis Indonesia Wilayah Surabaya dan Sekitarnya)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun