Kedua, kapasitas fiskus dalam melakukan audit transfer pricing masih terbatas. Banyak wajib pajak yang memiliki dokumen TP secara formalitas, namun tidak sesuai dengan substansi transaksi. Hal ini menyebabkan penegakan hukum yang tidak efektif.
Ketiga, tantangan dalam koordinasi lintas instansi dan lemahnya integrasi data antar kementerian membuat upaya pengawasan transfer pricing sering terhambat oleh birokrasi.
Studi Transfer Pricing di Industri Digital dan PerkebunanÂ
Industri digital memiliki karakteristik unik yang membuatnya sangat rentan terhadap manipulasi transfer pricing, terutama karena nilai bisnisnya banyak berasal dari aset tidak berwujud seperti perangkat lunak, algoritma, dan basis data pengguna. Perusahaan seperti Google, Meta, dan Amazon sering kali dikritik karena memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah melalui pemanfaatan lisensi teknologi atau royalti antar entitas afiliasi.
Sebagai contoh, Google pernah dikritik oleh negara-negara Uni Eropa karena menggunakan strategi 'Double Irish with a Dutch Sandwich', yaitu memindahkan pendapatan dari Eropa ke Irlandia lalu ke Belanda dan akhirnya ke negara suaka pajak seperti Bermuda. Praktik ini secara legal mengurangi beban pajak mereka namun merugikan pendapatan negara tempat kegiatan ekonomi sebenarnya dilakukan.
Di sisi lain, industri perkebunan di Indonesia juga tidak luput dari sorotan. Beberapa grup usaha besar sawit ditengarai melakukan ekspor produk mentah seperti CPO ke entitas afiliasi luar negeri dengan harga rendah, lalu diolah dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga tinggi. Skema ini merugikan Indonesia dari sisi nilai tambah dan potensi penerimaan pajak. Oleh karena itu, sektor ini menjadi prioritas dalam pengawasan Direktorat Jenderal Pajak.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Transfer pricing adalah fenomena yang tidak dapat dihindari dalam era ekonomi global, namun implementasinya harus tetap menjunjung prinsip keadilan dan akuntabilitas. Etika bisnis menuntut agar perusahaan tidak hanya mematuhi hukum secara formal, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan fiskal dari strategi pajak yang digunakan.
Pemerintah Indonesia perlu memperkuat sistem pengawasan transfer pricing melalui tiga langkah utama: pertama, memperluas cakupan pelaporan CbCR; kedua, meningkatkan kapasitas audit pajak internasional; dan ketiga, menjalin kerja sama informasi lintas negara secara aktif dan efektif.
Bagi kalangan akademisi, penting untuk terus mengkaji dampak jangka panjang transfer pricing terhadap pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan negara. Kajian multidisiplin antara akuntansi, hukum, ekonomi, dan etika akan memberikan perspektif komprehensif dalam perumusan kebijakan yang lebih bijak.
Dengan pendekatan kolaboratif antara regulator, pelaku usaha, dan akademisi, diharapkan praktik transfer pricing yang merugikan negara dapat diminimalkan tanpa menghalangi pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.