Tantangan dan Perbedatan dalam Transfer Pricing
Meskipun telah banyak regulasi yang mengatur praktik transfer pricing, pelaksanaannya di lapangan tetap menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kesulitan dalam menemukan pembanding yang sebanding secara ekonomi, geografis, maupun model bisnis. Bahkan, perbedaan interpretasi antara otoritas pajak dan wajib pajak tentang penerapan metode arm's length kerap kali berujung pada sengketa perpajakan yang kompleks dan memakan waktu lama.
Tantangan lain muncul dalam transaksi yang melibatkan intangible assets seperti hak cipta, merek dagang, atau algoritma. Penilaian terhadap objek-objek ini tidak semudah transaksi barang, karena tidak tersedia harga pasar yang mudah diacu. Ketidakpastian ini sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk merancang struktur perpajakan yang kompleks demi meminimalisasi beban pajaknya.
Peran Regulator dan Organisasi InternasionalÂ
OECD telah memainkan peranan penting dalam menetapkan standar internasional mengenai transfer pricing melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project. Salah satu inisiatifnya yang paling berdampak adalah penerapan Country-by-Country Reporting (CbCR), yang mewajibkan perusahaan multinasional melaporkan aktivitas usaha dan pembayaran pajaknya di tiap yurisdiksi.
Di tingkat domestik, Ditjen Pajak telah memperkuat mekanisme pengawasan melalui kewajiban dokumentasi transfer pricing dan pelaporan pengungkapan hubungan istimewa dalam SPT. Penyesuaian ini merupakan langkah signifikan dalam meningkatkan transparansi dan mengurangi celah penghindaran pajak.
Studi Kasus Nasional dan InternasionalÂ
Salah satu studi kasus terkenal di Indonesia adalah sengketa transfer pricing antara otoritas pajak dan perusahaan farmasi besar yang berasal dari Eropa. Perusahaan tersebut dituduh menjual produknya ke anak perusahaan di Indonesia dengan harga yang tidak wajar sehingga mengurangi laba kena pajak secara signifikan.
Kasus internasional juga banyak terjadi, seperti perseteruan antara Starbucks dan otoritas pajak Inggris. Starbucks membayar royalti kepada anak perusahaannya di negara berisiko rendah pajak, sehingga menggerus laba perusahaan di Inggris. Meskipun praktik ini sah secara hukum saat itu, namun dinilai tidak etis karena tidak mencerminkan kontribusi nyata terhadap ekonomi setempat.
Refleksi dan Kesimpulan AkademikÂ
Transfer pricing pada dasarnya merupakan instrumen yang sah selama dilakukan dengan menerapkan prinsip arm's length. Namun dalam praktiknya, instrumen ini rentan disalahgunakan oleh entitas bisnis yang mengejar efisiensi pajak semata. Untuk itu, perlu upaya sinergis antara regulator, akademisi, dan dunia usaha dalam merumuskan pendekatan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.