Mohon tunggu...
YUDA PRAWIRA HADI KUSUMA
YUDA PRAWIRA HADI KUSUMA Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercubuana

Halo, Saya Yuda Mahasiswa S2 Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta. Fokus saya dalam Kompasiana ini membahas tentang Manajemen Pajak, yang di ampuh Oleh Prof. Dr. Apollo Selamat membaca apa yang saya tulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yuda Prawira H. K _55524110022_Diskursus Penagihan Pajak Pada PMK 25 Tahun 2025 & 189/PMK.03/2020_Proff Apollo

29 Mei 2025   21:33 Diperbarui: 29 Mei 2025   21:33 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penerimaan negara dari sektor perpajakan memiliki kontribusi signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam upaya mengamankan dan mengoptimalkan pendapatan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki peran strategis dalam mengawasi dan menegakkan kepatuhan pajak. Salah satu instrumen penting dalam proses tersebut adalah audit atau pemeriksaan pajak. Pemeriksaan ini bukan sekadar prosedur administratif, melainkan instrumen pengawasan yang menjadi dasar dari tindakan penegakan hukum seperti penagihan.

Audit pajak memungkinkan otoritas fiskal untuk memverifikasi kewajaran pelaporan pajak, memastikan keakuratan penghitungan pajak, serta mengungkap potensi pelanggaran perpajakan. Berdasarkan hasil audit tersebut, otoritas berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP), yang selanjutnya menjadi dasar dalam proses penagihan pajak sesuai ketentuan.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25 Tahun 2025 memperbaharui tata cara pemeriksaan pajak agar lebih adaptif terhadap tantangan sistem perpajakan digital dan kompleksitas transaksi lintas batas. PMK ini memperkuat posisi audit sebagai prasyarat legal dalam proses penagihan, yang mekanismenya juga diatur secara rinci dalam PMK Nomor 189/PMK.03/2020

Pengertian dan Fungsi Audit dalam Penagihan Pajak

Audit pajak atau pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks penagihan, audit berfungsi sebagai alat legal untuk menilai apakah WP memiliki utang pajak yang belum dilunasi, serta menjadi landasan administratif untuk menerbitkan instrumen tagihan yang sah.

Fungsi audit dalam proses penagihan pajak meliputi:

Verifikasi Kebenaran Laporan: Menilai apakah laporan keuangan dan SPT yang disampaikan sesuai dengan transaksi nyata.

Identifikasi Pelanggaran: Mendeteksi adanya rekayasa laporan seperti underreporting, transfer pricing, atau faktur fiktif.

Menetapkan Besarnya Pajak Terutang: Menghitung kekurangan pembayaran pajak berdasarkan bukti dan dokumen yang dikumpulkan.

Memberikan Kepastian Hukum: Menjadi dasar kuat untuk menerbitkan SKPKB, SKPKBT, atau STP.

Audit juga membedakan antara WP patuh dan tidak patuh, sehingga memudahkan otoritas pajak dalam mengalokasikan sumber daya pemeriksaan dan penagihan secara efisien.

Urgensi Audit Pajak dalam Rangka Penagihan

Audit merupakan instrumen strategis dalam penagihan karena memiliki beberapa fungsi kunci:

Dasar Legal Penagihan Penagihan pajak, baik secara pasif maupun aktif, harus didasarkan pada surat ketetapan atau tagihan yang valid. Audit menyediakan bukti objektif yang digunakan untuk menerbitkan SKP atau STP.

Mencegah dan Mengoreksi Penghindaran Pajak Banyak WP yang melakukan praktik penghindaran melalui penyembunyian penghasilan atau rekayasa biaya. Audit memungkinkan fiskus untuk menelusuri praktik-praktik ini dan melakukan koreksi.

Efek Jera dan Edukasi Audit yang konsisten dapat menciptakan efek jera bagi WP tidak patuh, sekaligus menjadi sarana edukasi perpajakan agar WP lebih berhati-hati dalam pelaporan.

Meningkatkan Penerimaan Pajak Laporan DJP menunjukkan bahwa hasil audit menyumbang hingga 15--20% dari total koreksi penerimaan tahunan. Ini menjadikan audit sebagai komponen krusial dalam strategi peningkatan penerimaan.

Efisiensi dan Targeting Dengan sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), audit dapat diarahkan kepada WP yang memiliki probabilitas tinggi untuk melakukan pelanggaran, sehingga mendukung efisiensi penggunaan SDM DJP.

Implementasi Audit dalam Penagihan -- Studi Kasus

Studi Kasus 1: PT Sinar Usaha Makmur

PT SUM merupakan perusahaan sektor manufaktur tekstil dengan omzet tahunan Rp250 miliar. WP secara konsisten melaporkan nihil untuk PPN selama tiga tahun berturut-turut. Berdasarkan hasil analisis risiko dan data eksternal (e-faktur, data perbankan, dan transaksi vendor), ditemukan indikasi kuat adanya ketidaksesuaian.

Pemeriksaan lapangan dilakukan berdasarkan SP2 dari KPP, dan menemukan bahwa:

WP menggunakan faktur pajak dari perusahaan fiktif.

Terdapat pendapatan yang disimpan dalam rekening pribadi komisaris.

Tidak ada dokumentasi transfer pricing untuk transaksi afiliasi luar negeri.

Hasil audit:

SKPKB PPN sebesar Rp2,1 miliar

SKPKB PPh Badan Rp3,5 miliar

Sanksi administrasi 100%

Setelah WP tidak melunasi dalam 30 hari, dilakukan penagihan aktif berupa Surat Paksa dan penyitaan aset tetap.

Studi Kasus 2: WP Orang Pribadi

Seorang WP individu yang memiliki usaha ritel ditemukan menyembunyikan omzet dengan hanya melaporkan sebagian transaksi. Melalui audit berbasis e-commerce dan data transfer bank, ditemukan bahwa omzet riil mencapai tiga kali lipat dari yang dilaporkan. Setelah koreksi, ditetapkan SKPKB sebesar Rp500 juta dan STP sebesar Rp50 juta. Karena WP tidak menyanggupi pelunasan sekaligus, dilakukan angsuran dan penjaminan.

Langkah-Langkah Penagihan Pajak Sesuai PMK 189/PMK.03/2020

  • Surat Teguran: Diterbitkan apabila dalam waktu 7 hari setelah jatuh tempo, WP belum melunasi utang pajak.
  • Surat Paksa: Dikirim setelah 21 hari dari Surat Teguran apabila masih belum ada pelunasan.
  • Penyitaan: Jika 2x24 jam sejak surat paksa disampaikan tidak ada pelunasan, maka dilakukan penyitaan aset.
  • Pengumuman Lelang: Dilakukan dalam 14 hari setelah penyitaan bila belum juga dilunasi.
  • Lelang: Barang sitaan dijual di muka umum jika WP tetap tidak melunasi.
  • Pencegahan: Pencegahan keluar negeri dilakukan terhadap WP dengan utang > Rp100 juta dan indikasi tidak kooperatif.
  • Penyanderaan (Gijzeling): Dilakukan bila terdapat niat buruk dan utang pajak cukup signifikan.
  • Penagihan terhadap WP Pailit/Likuidasi: Tetap dilakukan sesuai prosedur hukum pajak dan kepailitan

Inovasi PMK 25 Tahun 2025 dalam Pemeriksaan

PMK 25/2025 membawa beberapa inovasi penting, di antaranya:

  • Digitalisasi Prosedur Audit: Proses audit terintegrasi dalam sistem Coretax, memungkinkan tracking dan transparansi.
  • Integrasi Data Pihak Ketiga: Termasuk perbankan, OSS, dan institusi keuangan lain untuk mendeteksi transaksi tersembunyi.
  • Audit Tematik dan Industri: Audit difokuskan pada sektor berisiko tinggi dan transaksi lintas negara.
  • Pembahasan Akhir yang Wajib: WP diberikan kesempatan klarifikasi sebelum hasil audit difinalkan.

Sinkronisasi Audit dan Penagihan: Tantangan dan Solusi

Tantangan:

  • Keterbatasan jumlah auditor
  • Kompleksitas transaksi multinasional
  • Perlawanan hukum dari WP besar

Solusi:

  • Penguatan kompetensi SDM audit
  • Kerja sama internasional melalui Automatic Exchange of Information (AEOI)
  • Pemanfaatan teknologi big data dan artificial intelligence

Peran Petugas Pajak dalam Proses Audit dan Penagihan

Keberhasilan audit dan penagihan sangat ditentukan oleh kompetensi, integritas, dan kewenangan petugas pajak, khususnya pemeriksa dan juru sita. PMK 189/PMK.03/2020 secara eksplisit mengatur kewajiban dan hak kedua belah pihak, termasuk WP sebagai pihak yang diperiksa.

Tugas Pemeriksa Pajak antara lain:

  • Menyusun rencana pemeriksaan berdasarkan risiko WP.
  • Mengumpulkan bukti yang relevan melalui wawancara, konfirmasi pihak ketiga, dan penelusuran data digital.
  • Menyusun hasil pemeriksaan dengan uraian fakta, analisis fiskal, dan simpulan koreksi pajak.
  • Melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan bersama WP sebelum laporan disahkan.

Tugas Juru Sita Pajak antara lain:

  • Menyampaikan surat paksa kepada WP yang tidak memenuhi kewajiban dalam waktu yang ditentukan.
  • Melaksanakan penyitaan dan membuat berita acara penyitaan.
  • Mengumumkan lelang secara terbuka dan melaksanakan proses lelang sesuai prosedur.
  • Mengajukan pencegahan atau penyanderaan sesuai permintaan Kepala KPP.

Dengan adanya pembagian tugas yang jelas, DJP berupaya menjaga akuntabilitas dan menghindari penyalahgunaan wewenang dalam proses audit dan penagihan.

Perlindungan Hukum bagi Wajib Pajak

Meski audit dan penagihan merupakan proses yang dominan dilakukan oleh otoritas pajak, PMK dan UU KUP tetap memberikan ruang perlindungan hukum bagi WP agar tidak dirugikan secara sepihak.

Hak-hak Wajib Pajak antara lain:

  • Memperoleh salinan surat pemeriksaan, surat teguran, dan surat paksa.
  • Mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan dalam jangka waktu 3 bulan setelah SKP diterbitkan.
  • Mengajukan banding ke Pengadilan Pajak bila keberatan ditolak sebagian atau seluruhnya.
  • Mendapat kesempatan menyelesaikan utang sebelum lelang dilaksanakan.
  • Mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak.

Dengan adanya jaminan prosedural ini, maka keseimbangan antara kepentingan fiskal dan hak konstitusional WP tetap terjaga dalam proses hukum perpajakan.

Perbandingan Internasional: Praktik Audit dan Penagihan di Negara Lain

Sebagai perbandingan, beberapa negara maju telah menerapkan pendekatan digital dan berbasis data dalam audit dan penagihan. Berikut contoh praktik yang dapat dijadikan rujukan penguatan sistem DJP:

1. Australia (ATO -- Australian Taxation Office):

Menerapkan program Justified Trust yang menilai kepatuhan WP besar secara real time berbasis sistem pelaporan otomatis.

Penagihan dilakukan dengan intervensi digital minimalisir interaksi langsung, mengurangi potensi korupsi.

2. Singapura (IRAS -- Inland Revenue Authority of Singapore):

Menerapkan sistem audit berbasis e-filing yang otomatis menandai anomali untuk WP tertentu.

Penagihan dilakukan secara otomatis melalui pemotongan langsung rekening bank setelah notifikasi elektronik dikirim.

3. Belanda:

Menggunakan pendekatan Horizontal Monitoring di mana WP besar menandatangani perjanjian keterbukaan dengan fiskus, menggantikan audit dengan self-review dan kepercayaan timbal balik.

Penagihan dilakukan berdasarkan sistem kepatuhan berbasis nilai risiko yang diukur setiap tahun.

Praktik-praktik ini memberikan pelajaran bahwa efektivitas audit dan penagihan tidak semata tergantung pada ancaman hukuman, namun juga keandalan sistem dan kepercayaan antara otoritas dan WP.

Prospek Penguatan Sistem Audit dan Penagihan di Indonesia

Melihat perkembangan teknologi dan ekspektasi terhadap transparansi fiskal, Indonesia dapat mengoptimalkan beberapa langkah strategis ke depan:

Integrasi Data Lintas Instansi: Melalui sistem Coretax, DJP dapat mengakses data dari OJK, Dukcapil, perbankan, hingga BPJS untuk memperluas basis data audit.

Automasi Laporan dan Validasi Transaksi: Mengurangi risiko manipulasi dan meningkatkan efisiensi audit.

Audit Predictive Model: Pengembangan algoritma penilaian risiko WP untuk menentukan prioritas pemeriksaan.

Transparansi dan Akuntabilitas Internal: Sistem audit internal DJP harus diperkuat agar tidak terjadi kesalahan dalam penerbitan SKP atau pelaksanaan penagihan.

Kampanye Kepatuhan Sukarela: Membangun budaya patuh pajak melalui edukasi dan insentif berbasis reputasi WP.

Langkah-langkah tersebut membutuhkan investasi dalam teknologi, pelatihan SDM, serta reformasi regulasi agar audit dan penagihan lebih kredibel dan tepat sasaran.

Penutup

Diskursus mengenai audit dan penagihan pajak menegaskan bahwa dua komponen ini tidak dapat dipisahkan dalam sistem perpajakan modern. Audit memberikan dasar hukum, sementara penagihan menegakkan hasil audit secara nyata.

Peraturan seperti PMK 25 Tahun 2025 dan PMK 189/PMK.03/2020 merupakan bentuk penyempurnaan tata kelola perpajakan nasional. Dengan pelaksanaan yang konsisten, transparan, dan berbasis teknologi, maka fungsi audit dan penagihan akan menjadi tulang punggung kepatuhan pajak dan stabilitas fiskal negara.

Pemerintah, melalui DJP, diharapkan mampu menjadikan proses audit dan penagihan tidak hanya sebagai mekanisme pemaksaan, tetapi juga sebagai instrumen keadilan fiskal yang menjamin keseimbangan antara hak negara dan hak warga negara.

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Pajak. (2025). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

Direktorat Jenderal Pajak. (2020). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Lapangan. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

Slemrod, J. (2019). Tax compliance and enforcement: An overview of new research and its policy implications. National Tax Journal, 72(4), 701--726. https://doi.org/10.17310/ntj.2019.4.01

Zain, M. (2020). Manajemen Pemeriksaan Pajak: Konsep, Prosedur, dan Aplikasinya. Jakarta: Salemba Empat.

Gunadi. (2021). Perpajakan: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

OECD. (2022). Tax Administration 2022: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9746f6c6-en

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun