Di era digital, hubungan sosial sering kali terjebak pada paradoks: teknologi mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat. Aqua membalik logika itu. Dengan totalitas dan keikhlasan, ia menunjukkan bahwa silaturahim bukan hanya ritual, melainkan strategi peradaban.
Pulang Basamo yang ia gagas membuktikan bahwa silaturahim adalah modal sosial yang luar biasa. Dukungan hadir dari berbagai kalangan: polisi, pengusaha, birokrat, akademisi. Semuanya cair dalam suasana kekeluargaan. Tanpa protokol, tanpa sekat, tanpa kepentingan transaksional. Yang tersisa hanyalah jejaring yang saling menguatkan.
Kisah Aqua adalah cermin. Betapa sering kita sibuk mengejar target, lupa menyapa kerabat, apalagi menyambung silaturahim. Padahal, dalam Islam jelas disebutkan: silaturahim memperpanjang umur dan melapangkan rezeki. Lebih dari itu, ia memperpanjang ingatan kolektif keluarga, melapangkan jalan generasi untuk mengenal akar sejarahnya.
Apakah kita sudah merawat silaturahim dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita hanya menundanya sampai Lebaran? Pertanyaan ini mestinya menggugah, sebab dalam era yang serba cepat, kehilangan hubungan berarti kehilangan pijakan identitas.
Di tengah gemerlap dunia modern, Aqua Dwipayana mengajarkan bahwa silaturahim adalah jalan pulang yang sesungguhnya. Pulang ke akar, pulang ke keluarga, pulang ke jati diri. Dari situlah lahir kekuatan moral yang mampu mengikat bangsa ini.
Silaturahim bukan milik Aqua seorang. Ia adalah warisan kultural, sekaligus mandat spiritual. Yang membedakan hanyalah apakah kita siap menjadikannya sekadar hobi, atau menjadikannya jalan hidup.
Seperti Pulang Basamo yang menghidupkan kampung halaman, mari kita pulang pada makna terdalam silaturahim: menyulam peradaban yang penuh kasih, persaudaraan, dan keberkahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI