Era digital bergerak tanpa menunggu kesiapan kita. Perubahan demi perubahan lahir begitu cepat, seolah tidak memberi jeda untuk merenung. Ruang sosial kita kini tidak lagi sebatas fisik, melainkan meluas ke layar gawai yang hampir tak pernah lepas dari genggaman. Di sana, agama pun hadir, namun sering kali bukan sebagai sumber kedamaian, melainkan arena kompetisi wacana, bahkan konflik.
Di saat notifikasi ponsel berdentang tanpa henti dan feed media sosial menumpahkan opini dalam hitungan detik, moderasi beragama seolah diuji, bukan lagi hanya oleh tafsir teologis, tetapi oleh algoritma, ekonomi digital dan arus informasi yang tak terfilter. Bayangkan tokoh agama di sebuah desa kecil yang selama puluhan tahun menjadi jangkar kebersamaan kini harus bersaing dengan narasi cepat yang datang dari luar. Ironinya, yang paling lincah menyebar sering kali memenangkan ruang publik. Itu bukan hiperbola, itulah realitas era disrupsi.
Data menunjukkan tantangan dan peluang yang saling berhadapan. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) nasional mencatat sedikit kenaikan menjadi 76,47 pada 2024. Hal ini mencerminkan bahwa kerukunan masih ada, namun rentan dan jauh dari kata mapan. Di sisi kebijakan, Kementerian Agama semakin aktif mendorong program moderasi beragama mulai dari kurikulum PAI di sekolah hingga inisiatif di perguruan tinggi sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan kohesi sosial.
Namun riset akademik memperingatkan adanya jurang antara kebijakan top-down dan praktik di akar rumput: program moderasi yang bertumpu pada logika keamanan dan deradikalisasi sering kalah efektif dibandingkan pendekatan yang melibatkan generasi muda secara partisipatif. Upaya yang terlalu administratif berisiko menciptakan "moderasi formal" tanpa menembus realitas sosial yang dibentuk oleh jejaring sosial dan ekonomi digital. Terlebih, studi internasional menunjukkan tren global, polaritas agama dan politik semakin mudah menyatu lewat platform daring, sehingga jalinan toleransi bisa terkikis lebih cepat daripada kemampuan institusi menjahitnya kembali.
Prolog ini bukan sekadar pencatat masalah melainkan menjadi sebuah pertanyaan terbuka: di tengah disrupsi yang terus mempercepat penyebaran wacana dan mempertebal konflik identitas, sejauh mana moderasi beragama kita mampu bertahan dan lebih penting lagi bagaimana kita menenun ulang praktik moderasi agar relevan bagi generasi yang memandang dunia lewat gawai? Di balik angka dan kebijakan, jawabannya akan menentukan apakah moderasi menjadi retorika pemerintah atau narasi kolektif yang menyelamatkan ruang publik kita.
Peluang dan Ancaman
Data Hootsuite (We Are Social) 2022 menunjukkan, 204,7 juta penduduk Indonesia sudah terhubung internet, dengan 191,4 juta di antaranya aktif di media sosial. Artinya, hampir seluruh denyut kehidupan kini berjejaring digital.
Di satu sisi, peluang dakwah menjadi terbuka, Â bisa menjangkau pelosok negeri, dialog lintas iman bisa digelar tanpa batas ruang dan waktu, dan literasi keagamaan dapat tersebar cepat. Tetapi di sisi lain, ancamannya nyata: radikalisasi online, polarisasi sosial, hoaks agama, cyberbullying, hingga ujaran kebencian.
Ruang digital yang semestinya menjadi wadah pertukaran pengetahuan justru kerap berubah menjadi arena kontestasi kebenaran. Moderasi pun diuji: apakah masih bisa berdiri tegak di tengah riuhnya klaim-klaim eksklusif yang saling menegasikan?
Ironinya, era digital yang menawarkan kebebasan berekspresi justru melahirkan paradoks baru. Agama yang sejatinya mengajarkan kasih sayang, kedamaian, dan penghormatan pada sesama, sering kali direduksi menjadi slogan untuk menyerang pihak lain.