Kompasianer sadar nggak, sih, dalam banyak film---baik drama keluarga Jepang, sinema Korea, sampai film-film Hollywood klasik---selalu ada satu adegan yang ditempatkan di meja makan? Entah saat sarapan pagi, makan malam, atau sekadar menyeduh teh sore hari. Apakah itu kebetulan? Tidak. Justru di sinilah letak kekuatan simbolik dari Cerita Meja Makan.
Meja makan bukan hanya tempat logistik dikonsumsi. Ia adalah panggung kecil tempat percakapan besar dilahirkan. Sebuah medium naratif yang mampu mengungkap karakter, konflik, hingga cinta yang paling tulus---dan juga luka yang paling samar.
Dalam film Parasite, salah satu adegan penting justru terjadi di meja makan keluarga Park. Terlihat nyaman, penuh hidangan mahal, tapi ada atmosfer "asing" antara majikan dan pelayan. Bahkan dalam The Godfather, pengambilan keputusan paling strategis---dan kadang kejam---dimulai dari meja makan.
Apa maknanya? Meja makan adalah tempat keintiman dan rahasia bersilangan. Di sanalah karakter ditelanjangi: siapa yang bicara paling banyak, siapa yang hanya tersenyum sambil menyendok sayur, siapa yang diam-diam menyimpan amarah.
Itulah kekuatan Cerita Meja Makan: menampilkan dialog, emosi, dan relasi secara utuh dalam satu ruang yang terlihat sederhana.
Di rumah kami, meja makan bukan properti syuting. Ia adalah saksi dari kehidupan yang berlangsung terus-menerus, dari pagi yang diburu waktu hingga malam yang dirundung lelah.
Setiap makan bersama, ada saja topik yang muncul:
Cerita sekolah anak bungsu yang seru dan kadang menggemaskan.
Keluh kesah anak sulung tentang tugas kuliah yang numpuk.
Atau sekadar diskusi receh soal rasa masakan: "Umi, ini sambalnya kebanyakan garam nggak?" "Umi, sayur sopnya kurang gurih"