Kini, kami mengenalnya dalam versi yang lebih nyata: seorang pejalan sunyi yang membesarkan silaturahim sebagai jalan hidup.
Doa dan tekad pun kami ikrarkan bersama: semoga kami bisa meneladani beliau. Menjadi pribadi yang ringan tangan, mudah membantu, dan senantiasa hadir dalam kebaikan—sekecil apa pun bentuknya.
Akhirnya...
Kebaikan bukan untuk dikenang, tapi untuk ditiru. Apa yang dilakukan oleh Gurunda Aqua Dwipayana bukan hanya meninggalkan jejak di ingatan, tapi menyalakan lilin semangat dalam dada kami semua.
Kami pulang ke Bandung dengan ransel penuh rasa syukur, dan misi baru dalam dada: meneruskan jejak silaturahim—dengan lisan yang lembut, hati yang tulus, dan tangan yang ringan berbagi.
Kami memang hanya ingin istirahat sejenak.
Namun Allah memberi lebih dari itu—beliau mengirimkan seorang motivator dengan ketulusan nyata.
Dalam dunia yang sering terlalu sibuk untuk peduli, kami menemukan seorang sosok yang tak pernah lelah berbagi.
Dr Aqua tidak hanya berbicara tentang kebaikan. Beliau menjadi kebaikan itu sendiri.
Lewat tangan dan hati beliau, kami belajar arti silaturahim yang sesungguhnya:
Memberi sebelum diminta, hadir sebelum dipanggil, dan menyapa tanpa pilih-pilih.
Kami pulang dengan tubuh lebih ringan, hati lebih lapang, dan jiwa lebih terang.
Dan hari ini, kami bersaksi:
The Power of Silaturahim bukan hanya konsep—ia nyata, hidup, dan bisa diwariskan oleh siapa saja yang mau meneladani.
Terima kasih, Gurunda. Â Engkau tidak sekadar menulis The Power of Silaturahim, engkau menjalaninya. Dan kami bersaksi, itulah yang mengubah hati kami.
Kami tak akan pernah melupakan jejak kebaikan ini.