Disclaimer dulu, ya. Tulisan ini telat tayang sehari dari deadline. Beberapa hari terakhir saya berada di luar Bandung, dan sinyal di daerah tersebut lebih sering "hampa" dibanding "H+". Tapi meskipun telat, saya berharap tulisan ini tetap layak dibaca dan menjadi motivasi bagi siapa pun, khususnya pelaku UMKM yang ingin tahu lebih banyak soal program Gadepreneur Pegadaian---agar kita semua bisa tumbuh dan tangguh, meski kadang harus sambil nyicil senyum dan semangat.
Jadi pelaku UMKM itu kayak naik sepeda di tanjakan sambil bawa galon---berat, ngos-ngosan, tapi tetap dijalani. Kadang rame, kadang sepi. Kadang untung, kadang cuma dapat doa pelanggan: "Makasih, Mbak, nanti saya mampir lagi ya!" (Padahal nggak balik-balik).
Di tengah jungkir balik itulah muncul program bernama Gadepreneur dari Pegadaian. Katanya, ini adalah wadah hebat untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, jaringan bisnis, daya saing, sampai akses pasar dan modal bagi UMKM.
Gadepreneur: Kami Adalah...
Begitu bunyi perkenalannya. Saya membacanya dengan penuh harap, serasa menemukan oase di tengah padang gersang. Tapi harapan itu langsung dicekik realitas saat saya menoleh ke tiga adik saya---semuanya pelaku UMKM tulen. Jualan makanan kuliner khas Bandung: Tahu Somay dan Es Teler.
Dan tak satu pun dari mereka pernah dengar, apalagi pernah ikut Gadepreneur. Bahkan saat saya sebut "GadePreneur Space", mereka kira itu coworking space baru di TikTok Shop.
Kata Pegadaian, sejak 2018 mereka sudah membina ribuan UMKM, bahkan dari kelompok rentan: perempuan, disabilitas, eks pekerja migran. Salut! Tapi di RT saya, pelaku UMKM masih lebih kenal koperasi simpan pinjam ketimbang program Pegadaian.
Ini bukan kritik tajam, hanya pengingat halus: bahwa kadang program mulia bisa jadi eksklusif kalau informasi dan aksesnya tak menjangkau pelosok atau dapur kami.