"Hebat ya, Pak itu. Ngomongnya lancar, gayanya meyakinkan."
"Bicara seperti itu memang mudah," jawab ayahnya pelan. "Yang susah itu memastikan Saka bisa sekolah tinggi meski cuma anak petani."
Dua bulan kemudian, terjadi hal  yang tidak terduga.
Seorang jurnalis muda membocorkan dokumen internal: daftar nama-nama peserta "titipan" dari pejabat ini, pengusaha itu, hingga kolega pengelola yayasan. Mereka lolos SPMB bukan karena nilai, tapi karena kedekatan.
Skandal itu membuncah di media sosial. Warganet murka. Pemerintah gelagapan. Panitia SPMB menggelar konferensi pers. Mereka bilang, "Itu hanya miskomunikasi."
Seperti biasa.
Saka, yang hari itu sedang membantu ibunya menanam singkong, tidak tahu kalau namanya sedang viral.
Kenapa? Karena ternyata, ia masuk dalam daftar yang ditolak karena tidak "punya akses".
Seseorang membocorkan file asli seleksi. Dan di sana, ada keterangan:
"Anak baik, nilai bagus, sayang tidak ada penjamin."
Satu minggu kemudian, media menggempur isu "SPMB Tanpa Wajah" ini.
Dinas buru-buru mengumumkan, "Kami buka tahap afirmasi tambahan untuk anak berprestasi yang sempat terlewat."
Dan tiba-tiba... Saka dinyatakan lulus susulan.
Namun, di malam kelulusan itu, Saka tidak tersenyum.
Ia menatap ke cermin.
"Aku lulus... karena skandal?"
Ia bertanya pada bayangannya sendiri, yang tampak buram oleh embun pagi.
Refleksi:
SPMB Tahap 1 bukan sekadar seleksi. Ia adalah cermin---entah cermin bening atau cermin dua arah. Jika keterbukaan adalah janji, jangan tukar ia dengan manipulasi.Karena pendidikan bukan hadiah untuk yang punya kuasa. Ia hak semua anak bangsa, termasuk Saka... yang tidak punya siapa-siapa, kecuali harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI