Hari itu halaman sekolah tampak seperti pasar. Bukan pasar ikan, tapi pasar harapan. Seragam putih abu-abu yang sudah kependekan karena dicuci terlalu sering, bercampur dengan jas almamater dari bimbingan belajar ternama. Di tengah keramaian, berdirilah Saka, remaja kurus dari pinggiran kota, dengan sepatu bolong yang sudah dijahit lima kali oleh ibunya.
"Pak, saya sudah bawa berkas lengkap. Nilai rapor saya juga di atas rata-rata. Boleh saya titipkan ke panitia?" tanyanya dengan penuh harap.
Petugas yang duduk di balik meja sambil mengetik seenaknya menatap Saka seperti melihat kertas buram.
"Isi dulu form online-nya. Terus tunggu pengumuman seleksi tahap 1. Kalau kamu lulus, baru bisa ikut tahap berikutnya. Jangan tanya-tanya. Semua sudah sistem."
"Lalu saya tanya ke siapa kalau bingung?"
"Tanya ke Tuhan."
Jawaban itu disampaikan sambil menyesap kopi dan tanpa rasa bersalah.
Dua minggu kemudian, pengumuman SPMB Tahap 1 dirilis. Website sempat crash 3 jam. Anak pejabat, anak pengusaha, anak guru besar, semua masuk. Saka? Tidak ada namanya. Bahkan, temannya yang punya rapor hampir merah pun lolos.
"Ah, mungkin saya salah input," hibur Saka pada dirinya sendiri. Tapi tiga kali ia cek, datanya tak ditemukan. Seperti kewarganegaraannya sedang di-pending oleh sistem.
Ia pun datang ke kantor dinas untuk konfirmasi. Tapi di sana, tak ada ruang tanya. Yang ada hanya papan pengumuman digital yang menayangkan slide prestasi dinas. Seolah semua baik-baik saja. Seolah tak ada satu pun anak desa yang hari itu menangis dalam diam.
Beberapa hari kemudian, viral sebuah video. Seorang pria paruh baya, mengenakan jas dan berdiri dengan megah di panggung seminar, berkata lantang:
"SPMB ini bukan sekadar seleksi administratif. Ini adalah wajah pemerintahan yang demokratis. Keterbukaan dan akuntabilitas adalah napas kami!"
Video itu ditonton ribuan orang. Dipuji. Di-quote oleh para pemimpin.
Saka menontonnya dari warung sebelah rumah, sambil meminum teh tawar hangat.
"Hebat ya, Pak itu. Ngomongnya lancar, gayanya meyakinkan."
"Bicara seperti itu memang mudah," jawab ayahnya pelan. "Yang susah itu memastikan Saka bisa sekolah tinggi meski cuma anak petani."
Dua bulan kemudian, terjadi hal  yang tidak terduga.
Seorang jurnalis muda membocorkan dokumen internal: daftar nama-nama peserta "titipan" dari pejabat ini, pengusaha itu, hingga kolega pengelola yayasan. Mereka lolos SPMB bukan karena nilai, tapi karena kedekatan.
Skandal itu membuncah di media sosial. Warganet murka. Pemerintah gelagapan. Panitia SPMB menggelar konferensi pers. Mereka bilang, "Itu hanya miskomunikasi."
Seperti biasa.
Saka, yang hari itu sedang membantu ibunya menanam singkong, tidak tahu kalau namanya sedang viral.
Kenapa? Karena ternyata, ia masuk dalam daftar yang ditolak karena tidak "punya akses".
Seseorang membocorkan file asli seleksi. Dan di sana, ada keterangan:
"Anak baik, nilai bagus, sayang tidak ada penjamin."
Satu minggu kemudian, media menggempur isu "SPMB Tanpa Wajah" ini.
Dinas buru-buru mengumumkan, "Kami buka tahap afirmasi tambahan untuk anak berprestasi yang sempat terlewat."
Dan tiba-tiba... Saka dinyatakan lulus susulan.
Namun, di malam kelulusan itu, Saka tidak tersenyum.
Ia menatap ke cermin.
"Aku lulus... karena skandal?"
Ia bertanya pada bayangannya sendiri, yang tampak buram oleh embun pagi.
Refleksi:
SPMB Tahap 1 bukan sekadar seleksi. Ia adalah cermin---entah cermin bening atau cermin dua arah. Jika keterbukaan adalah janji, jangan tukar ia dengan manipulasi.Karena pendidikan bukan hadiah untuk yang punya kuasa. Ia hak semua anak bangsa, termasuk Saka... yang tidak punya siapa-siapa, kecuali harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI