Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rindu Ibu, Puisi Rupa Achmad Pandi

15 Juli 2019   13:48 Diperbarui: 16 Juli 2019   17:14 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu, 2017,76x56 cm, cat air diatas kertas | Dokumen pribadi

Rindu Ibu
Puisi Rupa Achmad Pandi

Damai, teduh, dan bahagia, demikian imajinasi ketika saya menikmati karya Achmad Pandi dengan judul "Ibu". Belum sampai saya berfikir tentang kesadaran artistik, filosofi, pesan sosial maupun teknik, saya seolah dicegat dahulu oleh ingatan romantisme masa lalu. Benar, karya ini ternyata tidak sekedar sebuah pernyataan Pandi, namun sebuah linangan air mata tentang dirinya dalam puisi rupa yang ia kisahkan.

Selama ini karya lukis Achmad Pandi kerap dihubung-hubungkan dengan kritik sosial tentang permasalahan kehidupan yang sering ia temui. Pelukis kelahiran Jember Jawa Timur ini sejak kecil memang sangat dekat dengan ibunya, bahkan sering kali kenangan bersama ibunya ia jadikan pembanding melihat realita dalam menjalani kehidupannya.

Saya sangat memahami apa yang ia jadikan ukuran ini telah membuatnya nyaman dalam menerjemahkan setiap gagasannya. Sehingga, penikmat karya Pandi banyak yang paham tentang inspirasi karyanya dari latar belakang sosok pribadinya.

Sejumlah karya Pandi lainnya yang pernah saya lihat maupun tulis memang banyak berbicara tentang "ibu" seperti mertuanya, perempuan Bali tetangganya, para perempuan-perempuan tangguh yang ia temui di kehidupan pariwisata Kuta dimana ia tinggal sampai Bunda Teresa.

Ketika ditanya apakah ia sedang membangun narasi yang berbicara tentang warna-warni kehidupan?, Pandi mengatakan sejatinya ia hanya menghadirkan citraan seorang sosok.

Cara Pandi bereksplorasi di setiap unsur rupa dalam membangun ruang imaji bagi saya sangat menarik, sebuah alur akan semakin hidup manakala bisa menghubungkan satu karya dengan yang lainnya, termasuk pada karya Ibu ini.

Meskipun Pandi mengakui bahwa karyanya terinspirasi dari orang-orang terdekatnya, ia tidak harus menjelaskan secara vulgar. Baginya karyanya adalah potret realita yang bisa dirasakan oleh siapapun pada masa dimana ia bisa menikmati karyanya. Sesungguhnya ia tidak pula ingin menggiring opini pada sebuah kritik sosial, tapi biarlah ia hadir memaknai dengan sendirinya.

Pada karya Ibu, sosok yang ia hadirkan disini adalah ibu "imajiner". Meskipun ibu yang ia maksud erat kaitannya dengan ibunya yang tak lagi bisa ia dekap, karena sebelum Bulan Ramadhan yang lalu  telah dipanggil yang maha kuasa.

Karya ini memberi ingatan kuat pada siapapun akan sosok ibu yang terus turut berperan dalam tugasnya membangun kasih sayang sampai pada cucu maupun cicitnya. Dan karya "Ibu" ini secara tekstual memperlihatkan bagaimana Pandi membangun hubungan emosional menjadi narasi kuat pada sebuah perenungan.

Sosok ibu dengan ekspresi raut wajah, kulit, rambut, busana, selendang maupun anak kecil dengan bedak yang membaluri wajahnya ia abadikan pada karya cat air dengan detil dan kesan akhirnya muncul sangat kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun