Setiap negara tujuan memiliki standar kualitas yang berbeda. Namun, secara umum, sabut kelapa yang akan diekspor harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
a. Kadar Air Rendah
Sabut kelapa yang diekspor harus memiliki kadar air yang rendah agar tidak mudah berjamur selama proses pengiriman. Standar kadar air maksimal umumnya berada di bawah 18%.
b. Bebas dari Kontaminasi
Sabut kelapa harus bebas dari kotoran, seperti tanah, pasir, dan bahan asing lainnya yang bisa menurunkan kualitas produk.
c. Ukuran dan Serat yang Seragam
Bagi negara tujuan yang membutuhkan cocofiber, serat harus memiliki panjang yang seragam, biasanya sekitar 5-20 cm tergantung pada kebutuhan pasar.
d. Cocopeat dengan Kadar Garam Rendah
Jika produk yang diekspor adalah cocopeat, maka kadar garamnya harus rendah, biasanya di bawah 0,5 mS/cm, agar cocok digunakan sebagai media tanam di negara tujuan.
3. Proses Karantina dan Sertifikasi
Sabut kelapa yang diekspor harus melalui prosedur pemeriksaan dan karantina. Berikut beberapa dokumen penting yang diperlukan:
a. Phytosanitary Certificate
Sertifikat ini diterbitkan oleh Badan Karantina Pertanian dan berfungsi sebagai jaminan bahwa produk sabut kelapa bebas dari hama dan penyakit tumbuhan.
b. Surat Keterangan Asal (SKA)
SKA atau Certificate of Origin (COO) diperlukan untuk membuktikan bahwa sabut kelapa berasal dari Indonesia. Dokumen ini bisa membantu eksportir mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah di negara tujuan.
c. Hasil Uji Laboratorium
Beberapa negara tujuan ekspor meminta hasil uji laboratorium terkait kadar air, kadar garam, atau kandungan lainnya dalam sabut kelapa.
4. Prosedur Pengiriman dan Bea Cukai
Setelah sabut kelapa siap diekspor, eksportir harus memahami prosedur pengiriman dan bea cukai.
a. Pembuatan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang)
Dokumen ini diajukan melalui sistem Bea Cukai Indonesia (CEISA) sebagai syarat pengiriman barang ke luar negeri.