Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Ajari Kami Toleransi

4 Agustus 2015   15:57 Diperbarui: 4 Agustus 2015   15:57 7126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul ini merupakan ungkapan sekretaris salah satu ormas menanggapi pernyataan yang saya sampaikan dalam diskusi dan sosialisasi yang diadakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Langkat di aula Kemenag. Detail lainnya tidak perlu saya tuliskan di sini.

Sebelumnya saya mengajak kepada hadirin untuk mencoba berpikir bahwa aneka persoalan kerukunan, utamanya kerukunan beragama, bersumber pada pikiran. Kita berpikir berdasarkan kepentingan. Ketika masing-masing berpikir begitu, terjadilah bentrokan kepentingan. Mulailah benih-benih ketidakharmonisan terjadi dalam masyarakat. Misalnya, di sebuah daerah ada perda yang menghalangi kebebasan hak orang yang sekeyakinan dengan kita, apa reaksi ketika kita mendengarnya. Marahkah? Menghujatkah? Lalu didaerah lain ada perda yang menghalangi hal orang lain yang tidak sekeyakinan dengan kita. Kira-kira, apa reaksi kita ya? Diamkah?

Mempertemukan aneka pikiran dengan berbagai latar belakang kepentingan dengan kepala dingin dan ayem kiranya menjadi salah satu alternatif. Dengan kepala dingin dan ayem kita akan mampu untuk memetakan sebuah persoalan dengan tepat dan benar. Bias dari persoalan bisa diminimalisir.

Mengikuti emosi, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kalau mengikuti emosi, yang paling kencang teriaknyalah yang akan menang. Saya beri contoh sederhana. Akhir-akhir ini berseliweran sebuah video tentang kesaksian seorang uztad yang katanya mantan pastur. Kalau kepala panas, sudah bisa dipastikan bisa memicu persoalan. Tetapi dengan kepala dingin dan ayem, kita bisa kok memetakan persoalan. Misalnya kalau ustad bernama Bangun Samudra itu memang berniat berkotbah, ngapain juga dia menceritakan keyakinan orang lain. Apa lebih laku dijual?

Mending kalau yang diceritakan benar, kalau cuma hoek eh hoax? Apa ga kasihan itu mereka yang telah mendengar ceramahnya lalu mengikuti 100% apa yang dikatakannya? Dengan kepala dingin justru kita bisa belajar darinya. Justru kita semakin tertantang untuk memperdalam iman kita.

Misalnya, dalam salah satu video kesaksiannya ia mengatakan soal kehidupan pendeta. Mantan pastur tapi kok ngomongin pendeta sih? Katanya cukup satu semester alias 6 bulan untuk bisa mendapatkan sebuah mobil sekelas Pajero. Jalur yang bisa ditempuh untuk bisa mendapatkan sebuah mobil adalah atas dasar laporan orang yang menjemput, sampai ke Dewan Gereja Indonesia, kemudian ke Dewan Gereja Internasional, kemudian ke Vatikan Roma. Enak kan? Hihihihihi…

Diceritakan soal pendeta. Pendeta dikenal di kalangan Kristen. Ini harus digarisbawahi ya: Kristen. Sejak tahun 1984, Dewan Gereja Indonesia telah berubah nama menjadi Persatuan Gereja Indonesia. Nah, PGI atau Dewan Gereja Internasional dikenal di kalangan Kristen. Sekali lagi: Kristen. Lalu Vatikan Roma. Ini di kenal di kalangan Katolik. Jadi, menurut Ustad yang supercerdas ini, bisa terjadi sebuah relasi unik: laporan penjemput - Dewan Gereja Indonesia yang telah menjadi Persatuan Gereja Indonesia (Kristen) à Dewan Gereja Internasional (Kristen) - Vatikan Roma (Katolik). Kalau dibuat sederhananya, ada sebuah relasi supranatural sehingga Vatikan yang Katolik sampai ngurusi mobilnya pendeta yang Kristen dan hanya butuh waktu 6 bulan.

Uztad ini memang sangat cerdas sehingga mampu berimaginasi mengenai pertemuan tokoh-tokoh melintasi waktu. Ini muncul ketika ia menceritakan mengenai kalender. Menurutnya (sebelum ada Islam, di Katolik) dulu satu tahun itu ada 10 bulan. Karena kebenaran Quran terdengar sampai ke Vatikan, pada tahun 968 M Paus Gregorius memerintahan dua biarawan yang juga astronom untuk menjadikan satu tahun itu dengan 12 bulan supaya sesuai dengan Islam. Nama biarawan itu Numa Popilius dan Dionisius Eksogus. Kedua biarawan ini kemudian menambahkan bulan Januari dan Februari.

Sebuah penjelasan yang sangat jenius. Butuh mesin waktu untuk mempertemukan tokoh-tokoh di masa yang berbeda. Kalau kita mengingat sejarah, sebelum Masehi pun sudah menggunakan 12 bulan untuk satu tahun, misalnya kalender Julian. Paus Gregorius XIII adalah paus yang mencanangkan Kalender Gregorius pada tahun 1582. Menurut catatan sejarah yang cupet nalarnya kayak saya ini, Kalender Gregorius tidak berkaitan dengan penambahan bulan, tetapi berkaitan dengan koreksi atas perhitungan tahun kabisat.

Bagaimana dengan nama Numa Pompilius? Jujur saya tidak mengenalnya. Setelah saya menjelajah internet, saya menemukan bahwa orang ini memang memperkenalkan bulan Januari dan Februari. Ia hidup pada tahun 753-673 SEBELUM MASEHI.

Lucu juga ketika ia menceritakan pendidikannya. Selepas SMA, ia masuk seminari. Karena cerdas, jenjang pendidikan 2 tahun bisa ia selesaikan dalam satu tahun. Karena kecerdasannya ia tidak ditaruh di paroki, tetapi disuruh belajar di Sekolah Filsafat dan Teologi. Seharusnya diselesaikan 10 semester atau 5 tahun. Berhubung cerdas, bisa selesai dalam 3 tahun.

Menurut yang ngerti soal pendidikan calon pastur, jejang pendidikan setelah tamat SMA adalah 1 tahun KPA di Seminari Menengah dilanjutkan Tahun Orientasi Rohani atau Novisiat selama 1 atau 2 tahun. Karena Ustad ini menyebut Keuskupan Surabaya berarti semestinya ia masuk dulu ke Tahun Orientasi Rohani selama 1 tahun. Oh iya, lupa. Karena cerdas, ia melompati tahap ini.

Setelah TOR, barulah masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi. Dalam menjalani masa pendidikan, tidak dikenal istilah lompat tingkat: karena cerdas langsugn naik level. Masa pendidikan calon imam adalah masa formatio sebagai calon pastur. Kalau kurang tidak bisa, tapi kalau lebih malah bisa. Sesudah masa formatio itu, barulah seorang calon DITAHBISKAN menjadi pastur. Tapi, berhubung cerdas, Ustad Bangun tidak perlu ditahbiskan. Cukuplah ia dilantik menjadi seorang pastur.

Masih ceritanya, sesudah dilantik Ustad ini melanjutkan studi ke Universitas St. Peter. Mungkin karena kecerdasannya yang super, ia mampu menemukan universitas itu di Roma. Moga-moga ada kesempatan untuk bisa melihat dan merasakan hebatnya berada di kompleks Universitas St. Peter. Tapi kapan ya?

Oh iya, ada yang kelupaan di menit-menit awal. Ustad mahacerdas ini menyebut Matius 16 (kalau didengarkan sepertinya ia jga menyebut kata 4). Menurutnya teks itu berbicara soal sepersepuluhan: “mereka mendapatkan bagian 10%nya, sepersepuluh dari harta kekayaan”. Menurutnya, inilah alasan mereka (entah pendeta atau pastur yang dimaksudkannya) tidak mau pindah iman. Karena penisirin (penasaran sekali) saya pun mencoba membuka bagian yang ditunjukkan itu. Dalam bab tersebut ada 28 ayat dengan 4 judul, yaitu tentang tanda yang diminta orang Farisi dan Saduki, tentang ragi orang Farisi dan Saduki, tentang pengakuan Petrus, dan tentang pemberitaan pertama penderitaan Yesus dan syarat untuk mengikutinya. Saya check ayat 4: “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.” Kok bukan soal persepuluhan. Lalu saya perhatikan keseluruhan bab 16 yang terdiri atas 28 ayat tersebut. TIDAK ADA kata persepuluhan.

Saya masih berpikir positif saja. Mungkin Ustad Bangun ini memiliki ilmu yang demikian luar biasa sehingga bisa menemukan apa yang tidak tertulis atau bahkan bisa menambahkan teks yang agama lain yang telah melalui proses panjang. Entahlah.

Nah, kalau kepala kita dingin, kita malah bisa belajar kan? Ngapain marah meski keyakinan kita diperolok? Semestinya kita justru tertunduk dan kembali menekuni apa yang selama ini kita imani sehingga ke depannya kita mampu untuk mempertanggunjawabkan iman kita. Kiranya, dengan kepala dingin kita akan mampu bersikap sama seperti kalau kita mendengar ada orang yang sekeyakinan dengan kita memperolok keyakinan orang lain. Setidaknya tertawa lebar melihat kecerdasan yang dilakukan orang itu.

Dengan pikiran yang jernih, kita akan berkata kepada diri kita sendiri: “ah, itu kan cuma oknum”. Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun