Namaku Naura, aku duduk di kelas 4 SD di Jakarta. Sejak saat ibu dan ayah sakit, aku selalu kagum melihat orang memakai jas putih dengan stetoskop di lehernya. Setiap kali ke puskesmas, aku memperhatikan bagaimana dokter memeriksa pasien dengan sabar. Dari situlah aku mulai bermimpi aku ingin menjadi dokter.
Suatu hari, tepatnya Ibu jatuh sakit. Aku melihat sendiri bagaimana dokter menanganinya dengan tenang. Dokter itu tersenyum, menenangkan kami, lalu berkata,
“Tenang saja, Bu. Semua akan baik-baik saja.”
Kata-kata itu membuatku merasa lega. Saat itulah aku berjanji dalam hati, “Aku ingin membuat orang lain merasa tenang seperti itu suatu hari nanti.”
Namun, jalan menuju cita-citaku tidak selalu mudah. Aku sempat merasa kesulitan belajar, terutama saat mempelajari organ tubuh manusia. Kadang aku ingin menyerah, tetapi Ibu selalu berkata,
“Tidak ada cita-cita yang tercapai tanpa kerja keras, Nak. Dokter pun dulu belajar dari kegagalan.”
Kalimat itu membuatku semangat kembali. Aku mulai belajar lebih giat, membaca buku tentang kesehatan, bahkan menonton video edukasi tentang dunia medis. Setiap nilai ulangan yang meningkat membuatku semakin yakin, aku bisa meraih mimpiku.
Di sekolah, teman-temanku sering bertanya,
“Kenapa sih kamu ingin jadi dokter?”
Aku menjawab sambil tersenyum,