Mohon tunggu...
Yoyon Supriyono
Yoyon Supriyono Mohon Tunggu... Guru - Kuli kapur

Tinggalkan jejak dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Ngunjung

19 Oktober 2020   02:19 Diperbarui: 19 Oktober 2020   02:57 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi ngunjung

Saya  dilahirkan dan dibesarkan di bumi kota Wali (Cirebon). Kota di mana salah satu wali dimakamkan, kaya dengan tradisi hasil akulturasi agama dan budaya setempat. Salah satunya adalah tradisi Ngunjung. Ngunjung berasal dari kata kunjung, yang artinya mendatangi atau mengunjungi. 

Bentuk ritual tradisi ini, masyarakat atau warga kampung berkunjung atau berziarah ke makam leluhur yang dianggap keramat, sebagai salah satu wujud penghormatan dan rasa syukur. Doa bersama dalam bentuk tahlilan dipimpin oleh sesepuh atau tokoh agama.

Selain berdo'a, pada acara Ngunjung ini biasanya ditampilkan berbagai macam kesenian khas daerah seperti wayang, topeng dan lainnya.

Hingga saat ini tradisi ini masih melekat dan dirayakan hampir di setiap desa di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan sekitarnya. Termasuk di desa tempat saya tinggal sekarang. Masyarakat berbondong-bondong datang ke lokasi makam membawa makanan dan jajanan untuk dinikmati bersama usai tahlilan.

Selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, ritual ini juga sebagai ajang permohonan doa kepada Tuhan agar warga desa diberikan keselamatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah, gemah ripah loh jinawi. Semangat kebersamaan, gotong royong, saling memberi dan berbagi sangat kental terasa.

Bila ditengok ke belakang, tradisi ini tak lepas dari sejarah perkembangan agama Islam di pulau Jawa. Islam yang hadir dengan ramah, penuh solidaritas dan cinta damai, disambut oleh masyarakat dengan kultur sosio-budaya lokal setempat. Pertemuan keduanya melahirkan harmonisasi peradaban dalam bentuk tradisi.

Perpaduan agama dan budaya yang mesra ini menjadi model kehidupan beragama yang ideal. Agama Islam hadir dengan nafas ketauhidan memberikan ruh pada budaya setempat. Sedangkan budaya lokal menyerap ajaran agama dengan tangan terbuka.

Dari kondisi ini tercipta nuansa budaya lokal yang agamis, seperti dua keping mata uang yang berbeda tapi saling mengisi dan melengkapi.

Itulah sekilas tradisi di tempat saya. Bagaimana tradisi di tempat anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun